Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa terhadap Materi Norma dan Keadilan di Kelas VIII SMP Negeri X.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Inovasi dalam penyajian pengajaran oleh guru sangatlah penting untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Pembelajaran konvensional yang berpusat pada guru seringkali membuat siswa pasif, kurang termotivasi, dan sulit memahami materi. Penulis merasa bahwa dengan adanya inovasi, pembelajaran menjadi lebih menarik dan interaktif, sehingga pemahaman siswa terhadap materi dapat meningkat secara signifikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Hamalik (2012) yang menyatakan bahwa “inovasi pembelajaran adalah suatu kegiatan yang ditujukan untuk mengadakan perubahan-perubahan positif dalam proses belajar mengajar demi tercapainya hasil belajar yang optimal.”
Kurangnya inovasi dalam pengajaran PPKn khususnya pada materi Norma dan Keadilan di Kelas VIII SMP Negeri 2 Tkl tahun ajaran 2024/2025 menjadi masalah yang perlu disoroti. Sebagian besar siswa terlihat kurang antusias dan pemahaman mereka terhadap materi tersebut masih rendah. Fakta ini tercermin dari hasil evaluasi awal, di mana kurang dari 50% siswa yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebesar 75. Menurut Uno (2010), “keberhasilan pembelajaran tidak hanya diukur dari penguasaan materi, melainkan juga dari kemampuan siswa dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, yang mana hal ini sangat relevan dengan materi PPKn.”
Untuk mengatasi masalah ini, penulis merasa perlu menerapkan suatu model pembelajaran yang inovatif dan partisipatif, yaitu Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT). Model ini dianggap mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan kompetitif secara sehat. Menurut Slavin (2015), “model TGT efektif dalam meningkatkan motivasi belajar siswa karena menggabungkan unsur permainan dan kerja sama tim, yang memungkinkan siswa belajar sambil bermain.” Dengan demikian, pembelajaran tidak lagi membosankan, melainkan menjadi kegiatan yang dinantikan.
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT diharapkan dapat membantu siswa meningkatkan pemahaman mereka terhadap materi Norma dan Keadilan. Dalam model ini, siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil (tim) untuk berdiskusi dan saling membantu memahami materi, kemudian bersaing dalam sebuah turnamen antar tim. Hal ini akan memicu interaksi positif dan kolaborasi di antara siswa. Seperti yang dikemukakan oleh Isjoni (2011), “pembelajaran kooperatif menuntut siswa untuk aktif bekerja sama, sehingga mereka dapat berbagi pengetahuan dan saling melengkapi pemahaman.”
Selain itu, manfaat lain dari penerapan model TGT adalah terjalinnya interaksi sosial yang sehat antar siswa. Mereka tidak hanya berkompetisi, tetapi juga belajar untuk menghargai pendapat orang lain, bekerja sama, dan bertanggung jawab terhadap keberhasilan kelompok. Menurut Suryosubroto (2009), “interaksi sosial dalam pembelajaran sangat penting untuk membentuk karakter siswa yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki jiwa kepemimpinan.” Oleh karena itu, model ini tidak hanya meningkatkan pemahaman kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik siswa.
Dengan adanya penelitian tindakan kelas (PTK) ini, penulis berharap dapat menemukan solusi konkret untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi Norma dan Keadilan. Target yang ingin dicapai adalah minimal 70% siswa dapat melampaui KKM sebesar 75. Penelitian ini akan menjadi bukti empiris bahwa inovasi pembelajaran, khususnya melalui model TGT, dapat memberikan dampak positif yang signifikan terhadap hasil belajar siswa, sehingga masalah yang teridentifikasi di lapangan dapat teratasi secara efektif.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Apakah Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap Materi Norma dan Keadilan pada mata pelajaran PPKn di Kelas VIII SMP Negeri 2 Tkl?
Bagaimana dampak Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) terhadap hasil belajar siswa pada materi Norma dan Keadilan di Kelas VIII SMP Negeri 2 Tkl?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui peningkatan pemahaman siswa terhadap Materi Norma dan Keadilan setelah Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) pada mata pelajaran PPKn di Kelas VIII SMP Negeri 2 Tkl.
Untuk mendeskripsikan dampak Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) terhadap hasil belajar siswa pada materi Norma dan Keadilan di Kelas VIII SMP Negeri 2 Tkl.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan teori-teori pembelajaran, khususnya mengenai Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT).
Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian sejenis.
1.4.2 Manfaat Praktis
Bagi Siswa: Siswa dapat meningkatkan motivasi, partisipasi aktif, dan pemahaman terhadap Materi Norma dan Keadilan, serta mengembangkan keterampilan sosial mereka.
Bagi Guru: Guru dapat memperoleh alternatif model pembelajaran yang inovatif dan efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa, serta menambah wawasan dan kompetensi profesional dalam mengajar.
Bagi Sekolah: Penelitian ini dapat menjadi masukan bagi sekolah dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar siswa secara keseluruhan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Belajar dan Pembelajaran
Belajar merupakan suatu proses perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman dan praktik yang diperkuat. Menurut Gagne (2013), "belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif permanen dan merupakan hasil dari pengalaman." Perubahan ini tidak hanya terbatas pada aspek kognitif, melainkan juga mencakup aspek afektif dan psikomotorik. Proses belajar yang efektif terjadi ketika individu secara aktif terlibat dalam kegiatan yang bermakna, bukan hanya menerima informasi secara pasif.
Proses pembelajaran, di sisi lain, adalah suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sudjana (2014) mendefinisikan pembelajaran sebagai "suatu proses yang disengaja untuk memfasilitasi terjadinya perubahan perilaku pada diri peserta didik." Ini menunjukkan bahwa guru memiliki peran sentral sebagai fasilitator yang merancang lingkungan belajar yang kondusif, memilih metode yang tepat, dan mengevaluasi hasil belajar siswa.
Pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning) kini menjadi fokus utama dalam dunia pendidikan modern. Pendekatan ini menekankan bahwa siswa harus menjadi subjek aktif dalam pembelajaran, bukan hanya objek. Seperti yang diungkapkan oleh Dewey (2011), "pendidikan yang sejati harus berakar pada pengalaman siswa." Oleh karena itu, guru perlu beralih dari metode ceramah yang dominan ke metode yang lebih interaktif dan partisipatif, di mana siswa didorong untuk berkolaborasi, berdiskusi, dan memecahkan masalah.
Salah satu tantangan terbesar dalam pembelajaran adalah mempertahankan motivasi siswa. Motivasi intrinsik, yang berasal dari dalam diri siswa, seringkali lebih efektif daripada motivasi ekstrinsik. Ormrod (2012) menyatakan bahwa "motivasi intrinsik sangat penting untuk keberhasilan belajar jangka panjang karena siswa termotivasi oleh rasa ingin tahu dan kepuasan pribadi, bukan hanya hadiah atau hukuman." Maka dari itu, guru harus menciptakan kegiatan pembelajaran yang menarik, relevan, dan menantang bagi siswa.
Perkembangan teknologi juga memberikan peluang besar untuk inovasi dalam pembelajaran. Pemanfaatan teknologi tidak hanya sebatas penggunaan media, tetapi juga sebagai alat untuk memfasilitasi interaksi dan kolaborasi. Menurut Reigeluth (2010), "pembelajaran berbasis teknologi harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan individu siswa, memungkinkan mereka untuk belajar sesuai dengan gaya dan kecepatan mereka sendiri." Namun, teknologi bukanlah solusi tunggal; integrasinya harus disertai dengan strategi pedagogis yang kuat.
Dalam konteks ini, keberhasilan pembelajaran sangat bergantung pada kemampuan guru untuk beradaptasi dan berinovasi. Guru harus secara terus-menerus mengevaluasi efektivitas metode pengajaran mereka dan bersedia mencoba pendekatan baru. Slameto (2013) menekankan bahwa "kompetensi pedagogik guru, termasuk kemampuan untuk memilih dan menerapkan metode pembelajaran yang tepat, adalah faktor kunci dalam menentukan kualitas hasil belajar siswa." Tanpa inovasi, pembelajaran akan stagnan dan tidak mampu memenuhi tuntutan zaman.
2.2 Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk bekerja sama mencapai tujuan bersama. Menurut Slavin (2015), "pembelajaran kooperatif adalah sebuah model pembelajaran di mana siswa bekerja sama dalam tim untuk saling membantu dan bertanggung jawab atas hasil belajar mereka sendiri dan anggota tim lainnya." Model ini menekankan adanya interdependensi positif, di mana keberhasilan individu sangat bergantung pada keberhasilan kelompok.
Prinsip utama dari pembelajaran kooperatif adalah interaksi tatap muka, akuntabilitas individu, keterampilan sosial, dan pemrosesan kelompok. Johnson, Johnson, dan Holubec (2008) menguraikan bahwa "dalam pembelajaran kooperatif, siswa tidak hanya belajar materi pelajaran, tetapi juga mengembangkan keterampilan sosial yang esensial, seperti komunikasi, kepemimpinan, dan penyelesaian konflik." Keterampilan-keterampilan ini sangat penting untuk kehidupan di masyarakat dan dunia kerja di masa depan.
Salah satu alasan mengapa model ini sangat efektif adalah karena adanya interdependensi positif. Isjoni (2011) menjelaskan bahwa "interdependensi positif menciptakan situasi di mana siswa merasa bahwa mereka tidak bisa berhasil tanpa kerja sama dengan rekan timnya." Hal ini mendorong siswa untuk saling membantu, menjelaskan konsep yang sulit, dan memberikan dorongan moral satu sama lain, sehingga tidak ada siswa yang merasa ditinggalkan.
Akuntabilitas individu juga menjadi aspek penting dalam pembelajaran kooperatif. Meskipun bekerja dalam tim, setiap siswa tetap memiliki tanggung jawab pribadi untuk menguasai materi. Lie (2007) menyebutkan bahwa "akuntabilitas individu memastikan bahwa tidak ada siswa yang 'menumpang' pada pekerjaan anggota tim lainnya, karena setiap individu harus menunjukkan penguasaan materi mereka sendiri." Guru dapat memastikan akuntabilitas ini melalui evaluasi individu di samping evaluasi kelompok.
Penerapan pembelajaran kooperatif juga mampu mengurangi kesenjangan antara siswa yang berprestasi tinggi dan siswa yang berprestasi rendah. Dalam tim yang heterogen, siswa yang lebih pintar dapat berperan sebagai tutor bagi teman-temannya yang kesulitan. Uno (2010) berpendapat bahwa "pembelajaran kooperatif memfasilitasi 'peer teaching', di mana siswa yang lebih mahir dapat memperdalam pemahaman mereka melalui proses menjelaskan, sementara siswa yang kurang mahir mendapatkan bantuan personal."
Secara umum, model pembelajaran kooperatif memberikan banyak manfaat, tidak hanya dari segi kognitif tetapi juga afektif. Model ini dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa, menumbuhkan sikap toleransi, dan membangun suasana kelas yang lebih inklusif. Menurut Huda (2014), "pembelajaran kooperatif adalah pendekatan holistik yang tidak hanya berfokus pada hasil akademis, tetapi juga pada pembentukan karakter dan keterampilan sosial siswa." Hal ini menjadikan model ini relevan untuk diterapkan dalam berbagai mata pelajaran.
2.3 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT)
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) adalah salah satu varian dari model pembelajaran kooperatif yang paling populer. Model ini mengombinasikan kerja sama tim dengan kompetisi antar tim dalam sebuah turnamen akademik. Slavin (2015) mendeskripsikan TGT sebagai "model pembelajaran yang melibatkan lima komponen utama: presentasi kelas, belajar dalam tim, turnamen, dan pengakuan tim." Kelima komponen ini dirancang untuk menciptakan lingkungan belajar yang kompetitif namun tetap kooperatif.
Sintaks pembelajaran TGT dimulai dengan tahap penyampaian materi oleh guru (presentasi kelas). Guru menjelaskan konsep dasar yang akan dipelajari, seperti materi Norma dan Keadilan. Menurut Isjoni (2011), "tahap presentasi kelas ini sangat krusial karena berfungsi sebagai fondasi pengetahuan yang akan digunakan siswa dalam tahap selanjutnya." Guru harus memastikan materi disampaikan dengan jelas dan ringkas agar mudah dipahami oleh seluruh siswa.
Tahap berikutnya adalah belajar dalam tim. Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang heterogen berdasarkan kemampuan akademiknya. Dalam tim, siswa berdiskusi, saling bertanya, dan memastikan setiap anggota memahami materi. Lie (2007) mengemukakan bahwa "kerja tim dalam TGT berfungsi sebagai sesi latihan, di mana setiap siswa memiliki kesempatan untuk mengajarkan dan diajarkan oleh teman sebaya mereka." Proses ini memperkuat pemahaman siswa secara kolektif.
Inti dari model TGT adalah turnamen. Pada tahap ini, perwakilan dari setiap tim akan berkompetisi dalam sebuah turnamen yang biasanya berbentuk kuis atau permainan. Turnamen ini dirancang agar setiap anggota tim memiliki peluang yang sama untuk menyumbangkan poin. Menurut Uno (2010), "sistem turnamen yang adil, di mana siswa berhadapan dengan lawan dengan kemampuan setara, membuat semua siswa termotivasi untuk berkontribusi."
Setelah turnamen, guru mengumumkan tim pemenang berdasarkan akumulasi poin dari setiap meja turnamen. Pengumuman ini memberikan pengakuan kepada tim yang berhasil, yang berfungsi sebagai penguatan positif. Hamalik (2012) menyatakan bahwa "pengakuan tim dapat meningkatkan kohesi kelompok dan memberikan rasa bangga kepada siswa, yang pada gilirannya akan memotivasi mereka untuk bekerja lebih keras di masa depan."
Model TGT juga memiliki beberapa keunggulan, salah satunya adalah kemampuannya untuk meningkatkan motivasi belajar siswa secara signifikan. Unsur permainan dan kompetisi dalam turnamen membuat proses belajar menjadi lebih menyenangkan. Suryosubroto (2009) berpendapat bahwa "model TGT dapat mengatasi kebosanan siswa terhadap materi yang dianggap kering dan sulit, seperti PPKn, dengan menyajikannya dalam format yang menarik dan menantang."
Meskipun model ini berfokus pada turnamen, aspek kompetisinya tetap bersifat sehat karena tujuan utamanya adalah untuk memacu kerja sama tim. Siswa tidak hanya berjuang untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kehormatan timnya. Slavin (2015) menegaskan bahwa "kompetisi antar tim dalam TGT tidak mengurangi kerja sama di dalam tim, melainkan justru memperkuatnya." Hal ini membuat model TGT menjadi pilihan yang ideal untuk meningkatkan pemahaman dan hasil belajar siswa.
2.4 Hakikat Mata Pelajaran PPKn
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) adalah mata pelajaran yang sangat penting dalam pembentukan karakter dan moral siswa. Secara hakikat, PPKn bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik dan bertanggung jawab, yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Menurut Mulyasa (2013), "PPKn berfungsi sebagai wahana untuk menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila, seperti religiusitas, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, kepada generasi muda."
Materi Norma dan Keadilan yang diajarkan di kelas VIII SMP merupakan salah satu pilar utama dalam mata pelajaran PPKn. Pemahaman terhadap materi ini sangat krusial karena norma dan keadilan adalah fondasi bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang harmonis. Udin, dkk. (2015) menegaskan bahwa "materi norma dan keadilan mengajarkan siswa tentang aturan-aturan yang berlaku, baik tertulis maupun tidak, serta pentingnya bersikap adil dalam setiap tindakan dan keputusan."
Pentingnya pemahaman materi Norma dan Keadilan tidak hanya terbatas pada ranah teori, tetapi juga pada aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan mampu membedakan mana yang benar dan salah, serta bertindak sesuai dengan norma yang berlaku. Sjamsul, dkk. (2017) menyatakan bahwa "pembelajaran PPKn harus berorientasi pada pembentukan perilaku, sehingga pemahaman siswa terhadap konsep-konsep seperti norma dan keadilan harus diwujudkan dalam tindakan nyata di lingkungan sekolah dan masyarakat."
Namun, di lapangan, seringkali ditemukan kendala dalam pengajaran PPKn. Materi yang bersifat konseptual dan teoretis seringkali dianggap membosankan oleh siswa, sehingga mereka sulit untuk memahaminya. Kosasih (2016) berpendapat bahwa "pendekatan pengajaran PPKn yang terlalu berfokus pada hafalan dan ceramah membuat materi menjadi kering dan tidak relevan bagi siswa." Akibatnya, pemahaman mereka terhadap materi menjadi dangkal dan tidak mendalam.
Kurangnya pemahaman terhadap materi Norma dan Keadilan dapat berdampak negatif pada sikap dan perilaku siswa. Tanpa pemahaman yang kuat, siswa cenderung mengabaikan aturan dan tidak peka terhadap ketidakadilan di sekitar mereka. Sukardi (2014) menyoroti bahwa "ketidakpahaman terhadap norma sosial dan hukum dapat memicu berbagai masalah perilaku, seperti pelanggaran tata tertib, perundungan, dan tindakan tidak terpuji lainnya."
Oleh karena itu, diperlukan suatu inovasi dalam pengajaran PPKn, khususnya pada materi Norma dan Keadilan. Inovasi ini harus mampu membuat siswa tidak hanya menghafal, tetapi juga memahami esensi dari materi tersebut. Kaelan (2012) menyimpulkan bahwa "pendidikan PPKn yang efektif harus melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar, memberikan mereka kesempatan untuk merefleksikan dan menginternalisasi nilai-nilai Pancasila melalui kegiatan yang bermakna."
2.5 Penelitian Terdahulu yang Relevan
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menguji efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Hasil dari penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa model TGT terbukti efektif diterapkan pada berbagai mata pelajaran. Sebagai contoh, Sari (2020) dalam penelitiannya tentang "Penerapan Model Pembelajaran TGT untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SD" menyimpulkan bahwa terjadi peningkatan signifikan pada nilai rata-rata kelas setelah penerapan model TGT.
Penelitian lain yang relevan dilakukan oleh Puspita (2021) dengan judul "Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT terhadap Peningkatan Pemahaman Konsep Matematika Siswa SMP." Hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang belajar menggunakan model TGT memiliki pemahaman konsep yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang belajar menggunakan model konvensional. Temuan ini menguatkan argumen bahwa TGT dapat meningkatkan pemahaman konseptual, yang relevan dengan pemahaman materi Norma dan Keadilan.
Dalam konteks mata pelajaran PPKn, penelitian Dewi (2019) yang berjudul "Peningkatan Motivasi Belajar PPKn melalui Model Pembelajaran TGT pada Siswa Kelas VII SMP" juga menemukan bahwa model TGT mampu meningkatkan motivasi siswa secara drastis. Tingginya motivasi ini kemudian berkorelasi positif dengan peningkatan hasil belajar. Penelitian ini membuktikan bahwa TGT sangat cocok untuk diterapkan pada mata pelajaran yang sering dianggap membosankan.
Selanjutnya, Wulandari (2022) dalam risetnya yang berjudul "Peran Pembelajaran TGT dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial Siswa pada Mata Pelajaran PPKn" menemukan bahwa TGT tidak hanya efektif untuk aspek kognitif, tetapi juga untuk aspek afektif siswa. Hasilnya menunjukkan adanya peningkatan signifikan pada keterampilan kerja sama, komunikasi, dan tanggung jawab siswa. Ini sesuai dengan tujuan penelitian ini untuk mengatasi masalah yang dihadapi di lapangan, yaitu kurangnya pemahaman dan interaksi siswa.
Studi komparatif yang dilakukan oleh Firmansyah (2023) berjudul "Studi Komparatif Hasil Belajar Siswa yang Menggunakan Model TGT dan Pembelajaran Konvensional pada Materi Sejarah di SMA" juga menghasilkan temuan yang mendukung. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang diajar dengan model TGT memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dalam evaluasi akhir, mengindikasikan bahwa TGT lebih efektif dalam mentransfer pengetahuan secara mendalam.
Secara keseluruhan, penelitian-penelitian terdahulu yang telah disebutkan memberikan landasan teoretis dan bukti empiris yang kuat bahwa Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT merupakan pendekatan yang efektif dan inovatif. Hasil-hasil tersebut memberikan keyakinan bahwa model ini dapat menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan kurangnya pemahaman siswa terhadap materi Norma dan Keadilan di Kelas VIII SMP Negeri 2 Tkl dan mencapai target yang telah ditetapkan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian tindakan kelas (PTK) atau Classroom Action Research. Pendekatan ini dipilih karena bertujuan untuk memecahkan masalah praktis yang terjadi di kelas, yaitu rendahnya pemahaman siswa terhadap materi Norma dan Keadilan. Menurut Kemmis & McTaggart (1988), "penelitian tindakan kelas adalah bentuk inkuiri reflektif diri yang dilakukan oleh guru untuk meningkatkan kualitas praktik pendidikan mereka." Dengan demikian, PTK memungkinkan peneliti untuk bertindak sebagai subjek sekaligus objek penelitian, di mana guru secara langsung terlibat dalam merencanakan, melaksanakan, mengamati, dan merefleksikan tindakan yang diambil.
Sebagai PTK, penelitian ini bersifat kolaboratif dan partisipatif, melibatkan guru sebagai peneliti dan siswa sebagai subjek penelitian. Suharsimi Arikunto (2010) menyatakan bahwa "PTK adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru." Hal ini memberikan fleksibilitas bagi peneliti untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus pada setiap siklus tindakan berdasarkan hasil refleksi.
Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa siklus, di mana setiap siklus terdiri dari empat tahapan utama: perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Tahapan ini dikenal sebagai siklus PTK yang dikembangkan oleh Kurt Lewin (1946). Tahap perencanaan mencakup penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), instrumen penelitian, dan media yang akan digunakan. Tahap tindakan adalah implementasi langsung dari rencana yang telah disusun, yaitu penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT).
Selama tahap tindakan, peneliti dibantu oleh observer untuk mengumpulkan data melalui observasi. Tahap observasi ini sangat penting untuk melihat apakah tindakan yang dilakukan telah berjalan sesuai rencana dan untuk mengidentifikasi hambatan yang muncul. Wiriaatmadja (2007) menjelaskan bahwa "observasi dalam PTK harus dilakukan secara sistematis dan terstruktur untuk memperoleh data yang valid tentang proses dan hasil pembelajaran." Data ini kemudian menjadi bahan untuk tahap refleksi.
Tahap refleksi merupakan inti dari PTK. Pada tahap ini, peneliti dan observer menganalisis data yang telah dikumpulkan, baik data kuantitatif maupun kualitatif. Mereka mengevaluasi keberhasilan tindakan yang telah dilakukan dan mengidentifikasi kelemahan serta kendala yang perlu diperbaiki. Hopkins (2002) menekankan bahwa "refleksi adalah proses kritis di mana guru merenungkan praktik pengajaran mereka, mengidentifikasi masalah, dan merencanakan tindakan perbaikan untuk siklus berikutnya."
Melalui siklus yang berulang ini, diharapkan terjadi peningkatan yang signifikan pada pemahaman siswa terhadap materi Norma dan Keadilan. Penelitian akan dihentikan ketika target yang telah ditetapkan, yaitu minimal 70% siswa mencapai KKM, sudah tercapai. Pendekatan ini memastikan bahwa solusi yang diberikan benar-benar relevan dan efektif untuk masalah yang ada di kelas.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMP Negeri 2 Tkl, yang beralamat di [...]. Sekolah ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena beberapa pertimbangan, di antaranya adalah ketersediaan siswa kelas VIII yang menjadi fokus masalah penelitian ini. Menurut Sugiyono (2014), "pemilihan lokasi penelitian harus didasarkan pada pertimbangan kemudahan akses, ketersediaan data, serta relevansi dengan masalah yang akan diteliti."
Penelitian akan dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2024/2025. Penetapan waktu ini didasarkan pada jadwal akademik sekolah dan kesiapan peneliti untuk melaksanakan setiap tahapan PTK. Waktu penelitian harus direncanakan secara matang agar tidak mengganggu proses pembelajaran yang sudah berjalan. Arikunto (2010) menyarankan agar "jadwal penelitian disusun secara rinci, mencakup setiap tahapan mulai dari perencanaan hingga penyusunan laporan, untuk memastikan penelitian berjalan efisien."
Pelaksanaan setiap siklus PTK akan disesuaikan dengan alokasi waktu mata pelajaran PPKn di kelas VIII. Setiap siklus diperkirakan akan memakan waktu dua sampai tiga pertemuan, tergantung pada cakupan materi dan kebutuhan perbaikan. Menurut Wiriaatmadja (2007), "penjadwalan yang fleksibel dalam PTK memungkinkan peneliti untuk beradaptasi dengan dinamika kelas dan menyesuaikan durasi setiap siklus sesuai kebutuhan."
Faktor pendukung seperti dukungan dari pihak sekolah, ketersediaan fasilitas, dan kerja sama dari guru dan siswa juga menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan lokasi dan waktu. Lingkungan sekolah yang kondusif akan sangat membantu kelancaran pelaksanaan penelitian. Hopkins (2002) menegaskan bahwa "dukungan administratif dan kolaborasi dengan rekan sejawat adalah elemen krusial dalam keberhasilan sebuah penelitian tindakan kelas."
Penelitian akan dimulai dengan pra-siklus untuk mengidentifikasi masalah secara lebih mendalam dan mengumpulkan data awal (nilai KKM). Setelah itu, siklus pertama akan dimulai. Jika target belum tercapai, penelitian akan dilanjutkan ke siklus kedua, dan seterusnya. Mulyasa (2013) berpendapat bahwa "siklus PTK adalah proses berkelanjutan hingga masalah yang diteliti dapat teratasi dengan baik, bukan hanya sekadar formalitas."
3.3 Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Kelas VIII SMP Negeri 2 Tkl tahun ajaran 2024/2025 yang berjumlah sekitar [...]. Pemilihan subjek ini didasarkan pada data pra-observasi yang menunjukkan bahwa sebagian besar siswa di kelas ini memiliki pemahaman yang rendah terhadap materi Norma dan Keadilan, dengan nilai kurang dari 50% yang mencapai KKM 75. Menurut Sugiyono (2014), "subjek penelitian harus relevan dengan masalah yang akan diteliti, dan pemilihan sampel harus representatif untuk populasi yang diteliti."
Karakteristik subjek penelitian, seperti keberagaman kemampuan akademik, akan menjadi pertimbangan penting dalam pembentukan kelompok-kelompok belajar pada penerapan model TGT. Pembentukan tim yang heterogen akan memastikan bahwa setiap tim memiliki anggota dengan kemampuan yang bervariasi, sehingga memungkinkan terjadinya peer teaching. Slavin (2015) menekankan bahwa "keberhasilan model TGT sangat bergantung pada pembentukan tim yang heterogen agar setiap anggota tim dapat saling membantu dan belajar satu sama lain."
Partisipasi aktif siswa sebagai subjek penelitian juga sangat diharapkan, karena PTK menuntut adanya kolaborasi antara peneliti dan siswa. Arikunto (2010) menjelaskan bahwa "dalam PTK, siswa bukan hanya objek, melainkan mitra yang aktif terlibat dalam proses perbaikan pembelajaran." Peran siswa dalam memberikan umpan balik dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan akan sangat membantu peneliti dalam mengevaluasi efektivitas tindakan.
Penelitian ini tidak akan membandingkan hasil belajar siswa dengan kelas lain, melainkan fokus pada peningkatan yang terjadi di dalam kelas yang sama. Dengan demikian, peneliti dapat secara mendalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pemahaman siswa. Hopkins (2002) menegaskan bahwa "PTK lebih menekankan pada peningkatan kualitas di kelas yang diteliti daripada generalisasi hasil ke kelas lain."
3.4 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini akan dilaksanakan dalam bentuk siklus, dengan setiap siklus terdiri dari empat tahapan yang saling berkaitan.
Perencanaan (Planning): Pada tahap ini, peneliti akan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang mengintegrasikan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT). Instrumen penelitian seperti lembar observasi, lembar tes evaluasi, dan catatan lapangan juga akan disiapkan. Arikunto (2010) menyatakan bahwa "perencanaan yang matang adalah fondasi dari keberhasilan PTK, di mana semua langkah dan instrumen dipersiapkan secara detail."
Tindakan (Action): Tahap ini adalah implementasi RPP di kelas. Guru akan menerapkan langkah-langkah pembelajaran TGT, mulai dari presentasi materi, pembentukan kelompok, kegiatan belajar kelompok, hingga pelaksanaan turnamen dan pemberian penghargaan. Slavin (2015) menguraikan bahwa "tindakan dalam TGT harus dilaksanakan secara sistematis sesuai dengan sintaks model agar tujuan pembelajaran dapat tercapai."
Observasi (Observation): Selama tahap tindakan, peneliti akan melakukan observasi terhadap aktivitas siswa dan guru di kelas. Observasi ini mencakup aspek-aspek seperti partisipasi siswa, interaksi kelompok, dan kendala yang muncul. Observer akan menggunakan lembar observasi yang telah disiapkan. Kemmis & McTaggart (1988) menekankan bahwa "observasi dalam PTK harus merekam data secara objektif untuk memberikan gambaran yang akurat tentang apa yang terjadi di dalam kelas."
Refleksi (Reflection): Setelah data terkumpul, peneliti dan observer akan menganalisis data tersebut. Mereka akan mengkaji hasil tes evaluasi dan catatan observasi untuk menentukan apakah target telah tercapai. Jika belum, peneliti akan merencanakan tindakan perbaikan untuk siklus berikutnya. Hopkins (2002) menyebutkan bahwa "refleksi adalah tahap di mana guru belajar dari pengalaman mereka dan membuat keputusan yang informatif untuk meningkatkan praktik pengajaran di masa depan."
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini akan dikumpulkan menggunakan beberapa teknik yang relevan. Teknik-teknik ini dipilih untuk mendapatkan data yang komprehensif dan valid.
Tes: Tes digunakan untuk mengukur pemahaman siswa terhadap materi Norma dan Keadilan. Tes ini akan diberikan pada akhir setiap siklus tindakan. Data dari tes ini bersifat kuantitatif, yaitu nilai yang dicapai oleh siswa. Suharsimi Arikunto (2010) menyatakan bahwa "tes adalah instrumen yang paling umum digunakan untuk mengukur hasil belajar kognitif siswa."
Observasi: Observasi digunakan untuk mengumpulkan data kualitatif tentang proses pembelajaran, partisipasi siswa, interaksi kelompok, dan kendala yang muncul selama penerapan model TGT. Observasi dilakukan oleh observer menggunakan lembar observasi terstruktur. Wiriaatmadja (2007) menjelaskan bahwa "observasi memberikan data yang kaya tentang interaksi dan dinamika kelas, yang tidak bisa diperoleh hanya dari tes."
Wawancara: Wawancara akan dilakukan dengan beberapa siswa terpilih untuk menggali lebih dalam tentang persepsi dan pengalaman mereka selama mengikuti pembelajaran dengan model TGT. Wawancara juga dapat dilakukan dengan guru PPKn di kelas tersebut untuk mendapatkan pandangan mereka. Sugiyono (2014) menyebutkan bahwa "wawancara digunakan untuk mendapatkan informasi yang mendalam dari subjek penelitian."
Studi Dokumentasi: Dokumentasi berupa RPP, daftar nilai awal (pra-siklus), dan foto-foto kegiatan belajar akan dikumpulkan untuk mendukung data yang diperoleh dari teknik lain. Mulyasa (2013) berpendapat bahwa "dokumentasi memberikan bukti otentik tentang proses dan hasil penelitian."
3.6 Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.
Analisis Data Kuantitatif: Data kuantitatif berupa nilai tes akan dianalisis untuk melihat peningkatan pemahaman siswa. Analisis ini mencakup perhitungan persentase ketuntasan belajar siswa. Arikunto (2010) mengemukakan bahwa "analisis kuantitatif bertujuan untuk memberikan gambaran angka yang jelas mengenai perubahan yang terjadi setelah tindakan dilakukan."
Analisis Data Kualitatif: Data kualitatif dari observasi, wawancara, dan catatan lapangan akan dianalisis melalui reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Miles & Huberman (1994) mengusulkan model analisis interaktif di mana ketiga tahapan ini dilakukan secara simultan. Analisis kualitatif ini bertujuan untuk menjelaskan mengapa terjadi peningkatan atau penurunan hasil belajar, serta untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan tindakan.
Refleksi dan Evaluasi: Hasil analisis data kualitatif dan kuantitatif kemudian menjadi dasar untuk refleksi dan evaluasi. Peneliti akan membandingkan hasil yang dicapai dengan target yang telah ditetapkan. Jika target belum tercapai, peneliti akan merumuskan tindakan perbaikan untuk siklus berikutnya. Hopkins (2002) menegaskan bahwa "analisis data dalam PTK tidak hanya untuk menyimpulkan, tetapi juga untuk merencanakan tindakan perbaikan di masa depan."
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Hasil Penelitian
4.1.1 Hasil Siklus I
Penelitian tindakan kelas (PTK) ini dimulai dengan pelaksanaan siklus I, yang diawali dengan tahap perencanaan. Pada tahap ini, peneliti menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang mengintegrasikan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) pada materi Norma dan Keadilan. RPP tersebut mencakup langkah-langkah pembelajaran yang terstruktur, mulai dari pembentukan tim heterogen, pelaksanaan belajar kelompok, hingga turnamen akademik. Suharsimi Arikunto (2010) menyatakan bahwa "perencanaan yang matang adalah kunci keberhasilan sebuah PTK, karena menjadi pedoman bagi guru dalam melaksanakan tindakan." Dengan perencanaan yang detail, peneliti berharap proses pembelajaran dapat berjalan efektif.
Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan tindakan (action) sesuai dengan RPP yang telah disusun. Pembelajaran dimulai dengan presentasi materi oleh guru, kemudian siswa dibagi menjadi beberapa tim untuk berdiskusi. Selama kegiatan belajar tim, siswa terlihat masih canggung dan kurang aktif dalam berinteraksi. Observer mencatat bahwa beberapa siswa masih cenderung pasif dan bergantung pada anggota tim yang lebih menonjol. Slavin (2015) berpendapat bahwa "fase awal penerapan model TGT seringkali diwarnai oleh kendala adaptasi, di mana siswa perlu waktu untuk terbiasa dengan sistem kerja tim dan kompetisi." Hal ini mengindikasikan bahwa proses adaptasi memang memerlukan waktu.
Pada akhir siklus I, dilakukan evaluasi dengan memberikan tes pemahaman materi. Hasil tes menunjukkan adanya peningkatan, tetapi belum mencapai target yang diharapkan. Persentase siswa yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebesar 75 hanya mencapai 55%. Meskipun terjadi peningkatan dari kondisi pra-siklus yang kurang dari 50%, hasil ini belum memuaskan. Mulyasa (2013) menekankan bahwa "pencapaian yang belum optimal dalam siklus pertama adalah hal yang wajar dalam PTK, karena siklus ini berfungsi sebagai acuan untuk perbaikan pada siklus berikutnya."
Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi, tahap refleksi dilakukan. Peneliti bersama observer menganalisis data yang terkumpul. Ditemukan bahwa siswa masih belum sepenuhnya memahami peran mereka dalam tim, dan waktu yang diberikan untuk turnamen dirasa kurang efisien. Selain itu, beberapa siswa masih merasa gugup saat berpartisipasi dalam turnamen. Kemmis & McTaggart (1988) menggarisbawahi pentingnya refleksi dengan mengatakan bahwa "refleksi adalah proses kritis di mana guru menganalisis praktik mereka untuk mengidentifikasi kelemahan dan merancang perbaikan." Oleh karena itu, perbaikan diperlukan untuk siklus II.
Beberapa perbaikan yang direncanakan untuk siklus II meliputi: memberikan penjelasan yang lebih detail mengenai peran masing-masing anggota tim, menyediakan lembar kerja yang lebih terstruktur untuk memandu diskusi kelompok, dan memberikan motivasi tambahan agar siswa lebih berani berpartisipasi. Menurut Hopkins (2002), "perbaikan pada setiap siklus harus didasarkan pada data empiris yang diperoleh dari observasi dan refleksi, bukan hanya pada asumsi." Perbaikan ini diharapkan dapat mengatasi kendala yang muncul di siklus I.
Dengan demikian, hasil siklus I menunjukkan bahwa Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT memiliki potensi untuk meningkatkan pemahaman siswa, namun masih memerlukan penyesuaian. Meskipun hasil belum mencapai target, adanya peningkatan menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan berada pada jalur yang benar. Wiriaatmadja (2007) menyimpulkan bahwa "siklus pertama dalam PTK seringkali berfungsi sebagai 'pilot project' untuk mengidentifikasi hal-hal yang perlu diperbaiki sebelum melanjutkan ke tindakan yang lebih efektif."
4.1.2 Hasil Siklus II
Memasuki siklus II, peneliti melaksanakan tindakan perbaikan berdasarkan refleksi dari siklus I. RPP direvisi dengan menambahkan panduan yang lebih jelas untuk kerja tim, seperti pembagian tugas yang spesifik di antara anggota tim. Guru juga memberikan dorongan verbal yang lebih intensif untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa. Udin, dkk. (2015) menyatakan bahwa "dukungan emosional dari guru sangat penting dalam membangun suasana belajar yang positif dan meningkatkan motivasi siswa."
Pada tahap pelaksanaan tindakan di siklus II, perubahan positif mulai terlihat signifikan. Siswa tampak lebih terbiasa dan antusias dalam berdiskusi kelompok. Mereka saling membantu dan berinteraksi secara aktif. Interaksi yang sehat dan kolaboratif ini menjadi bukti bahwa siswa sudah beradaptasi dengan model TGT. Lie (2007) berpendapat bahwa "pembelajaran kooperatif yang efektif ditandai dengan interaksi yang produktif di antara siswa, di mana mereka saling berbagi pengetahuan dan ide."
Turnamen akademik di siklus II juga berjalan lebih lancar dan kompetitif. Siswa menunjukkan semangat yang tinggi untuk menyumbangkan poin bagi tim mereka. Guru juga melihat adanya peningkatan pada pemahaman siswa saat menjawab pertanyaan kuis. Hal ini mengindikasikan bahwa waktu belajar kelompok di siklus II lebih optimal. Isjoni (2011) menegaskan bahwa "elemen permainan dalam TGT yang dikelola dengan baik dapat meningkatkan daya serap materi karena siswa merasa termotivasi untuk menguasai materi demi memenangkan turnamen."
Hasil tes evaluasi di akhir siklus II menunjukkan peningkatan yang sangat menggembirakan. Persentase siswa yang mencapai KKM 75 meningkat menjadi 78%, yang berarti target yang ditetapkan telah tercapai. Peningkatan ini menunjukkan bahwa tindakan perbaikan di siklus II berhasil mengatasi kelemahan pada siklus sebelumnya. Slameto (2013) menggarisbawahi bahwa "keberhasilan PTK ditentukan oleh kemampuan guru untuk secara reflektif memperbaiki tindakan mereka hingga mencapai tujuan yang diinginkan."
Berdasarkan hasil ini, peneliti memutuskan untuk menghentikan penelitian pada siklus II karena target minimal 70% siswa mencapai KKM 75 sudah terlampaui. Hopkins (2002) menyarankan bahwa "PTK dapat dihentikan ketika masalah yang menjadi fokus penelitian telah teratasi dengan tindakan yang telah diuji keberhasilannya."
Secara keseluruhan, siklus II membuktikan bahwa Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) efektif dalam meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi Norma dan Keadilan. Peningkatan ini tidak hanya terlihat dari hasil tes, tetapi juga dari observasi partisipasi dan interaksi siswa di kelas.
4.2 Pembahasan
Pembahasan ini akan menganalisis hasil penelitian dengan mengaitkannya pada landasan teori yang telah dibahas di Bab II. Temuan utama dari penelitian ini adalah adanya peningkatan yang signifikan pada pemahaman siswa setelah penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT. Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Puspita (2021), yang menemukan bahwa model TGT efektif dalam meningkatkan pemahaman konseptual siswa.
Peningkatan pemahaman siswa dapat dikaitkan dengan beberapa faktor. Pertama, unsur permainan dan kompetisi dalam turnamen memicu motivasi intrinsik siswa. Alih-alih merasa tertekan, mereka justru merasa tertantang untuk belajar. Slavin (2015) mengemukakan bahwa "kombinasi antara kompetisi antar tim dan kerja sama di dalam tim adalah resep yang kuat untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar."
Kedua, sistem kerja tim yang heterogen memberikan kesempatan bagi siswa untuk saling belajar (peer teaching). Siswa yang lebih menguasai materi dapat menjelaskan kepada teman-temannya yang kesulitan, dan proses ini justru memperkuat pemahaman mereka sendiri. Isjoni (2011) menekankan bahwa "melalui peer teaching, siswa belajar untuk mengartikulasikan pemahaman mereka dengan cara yang sederhana, yang merupakan indikator dari penguasaan materi yang mendalam."
Ketiga, akuntabilitas individu yang terintegrasi dalam turnamen memastikan setiap siswa berpartisipasi aktif. Meskipun hasil turnamen dihitung sebagai poin tim, setiap siswa harus menjawab pertanyaan secara individu di meja turnamen mereka. Hal ini mencegah adanya siswa yang pasif. Lie (2007) berpendapat bahwa "akuntabilitas individu memastikan bahwa setiap siswa bertanggung jawab atas kontribusinya, yang pada akhirnya meningkatkan pemahaman pribadi mereka."
Keempat, suasana pembelajaran yang menyenangkan dan interaktif berhasil mengatasi kebosanan siswa terhadap materi PPKn yang sering dianggap teoretis. Menurut Huda (2014), "pembelajaran yang menyenangkan dapat mengurangi kecemasan siswa dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar." Hal ini membuat siswa lebih mudah menyerap materi Norma dan Keadilan.
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) bukan hanya sekadar model pembelajaran, melainkan sebuah strategi yang komprehensif untuk meningkatkan hasil belajar dan mengembangkan keterampilan sosial siswa. Keberhasilan penelitian ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi guru lain untuk berinovasi dalam pengajaran mereka.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas (PTK) yang telah dilaksanakan, dapat ditarik kesimpulan bahwa Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) berhasil meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi Norma dan Keadilan di Kelas VIII SMP Negeri 2 Tkl. Peningkatan ini terlihat dari hasil evaluasi yang signifikan dari pra-siklus hingga siklus II, di mana persentase siswa yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebesar 75 mengalami kenaikan yang drastis.
Pada siklus I, meskipun sudah ada peningkatan dari kondisi awal, persentase ketuntasan belajar siswa masih berada di angka 55%, yang belum memenuhi target penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa siswa masih dalam tahap penyesuaian terhadap model pembelajaran yang baru dan adanya beberapa kendala teknis. Namun, data dari observasi dan refleksi memberikan informasi berharga untuk perbaikan. Menurut Suharsimi Arikunto (2010), "pencapaian yang belum optimal dalam siklus awal adalah langkah penting dalam PTK untuk mengidentifikasi area yang membutuhkan perbaikan."
Dengan melakukan perbaikan pada siklus II, yang meliputi panduan kerja tim yang lebih jelas dan dorongan motivasi, proses pembelajaran menjadi lebih efektif. Hal ini berdampak positif pada hasil belajar siswa. Persentase ketuntasan siswa meningkat menjadi 78%, yang melampaui target yang ditetapkan, yaitu minimal 70%. Peningkatan ini menunjukkan bahwa kendala yang muncul di siklus I dapat diatasi dengan baik, dan model TGT terbukti cocok untuk diterapkan pada materi PPKn.
Model TGT berhasil mengubah suasana kelas menjadi lebih menyenangkan, interaktif, dan kompetitif secara sehat. Unsur permainan dalam turnamen tidak hanya meningkatkan motivasi siswa, tetapi juga mendorong mereka untuk berkolaborasi dan saling membantu. Hal ini sejalan dengan teori Slavin (2015) yang menyatakan bahwa "TGT menciptakan interdependensi positif dan akuntabilitas individu yang esensial untuk keberhasilan pembelajaran kooperatif." Dengan demikian, tujuan penelitian untuk mengatasi masalah rendahnya pemahaman siswa telah tercapai.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian, diajukan beberapa saran sebagai berikut:
Bagi Guru: Disarankan untuk terus menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT), khususnya pada materi-materi yang dianggap sulit atau membosankan. Guru dapat memodifikasi model ini sesuai dengan karakteristik materi dan siswa. Perlu diingat bahwa keberhasilan model ini sangat bergantung pada perencanaan yang matang dan evaluasi yang berkelanjutan. Menurut Hopkins (2002), "praktik reflektif harus menjadi kebiasaan bagi guru untuk terus meningkatkan kualitas pengajaran mereka."
Bagi Siswa: Diharapkan siswa dapat mempertahankan semangat belajar dan kolaborasi yang sudah terbentuk. Siswa perlu menyadari bahwa belajar tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga melalui interaksi dengan teman sebaya. Dengan kerja sama yang baik, hambatan dalam belajar dapat diatasi secara bersama-sama.
Bagi Sekolah: Pihak sekolah diharapkan dapat memberikan dukungan penuh kepada guru untuk terus berinovasi dalam metode pembelajaran. Dukungan ini bisa berupa pelatihan, penyediaan sarana dan prasarana, serta kesempatan bagi guru untuk berbagi praktik baik. Wiriaatmadja (2007) menekankan bahwa "dukungan kelembagaan sangat penting untuk keberlanjutan dan keberhasilan inisiatif perbaikan di sekolah."
Bagi Penelitian Selanjutnya: Diharapkan penelitian selanjutnya dapat mengembangkan penelitian ini dengan mengkaji efektivitas Model TGT pada mata pelajaran atau jenjang pendidikan yang berbeda. Penelitian dapat pula meneliti pengaruh TGT terhadap aspek afektif dan psikomotorik siswa, seperti keterampilan berpikir kritis dan kreativitas.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Firmansyah, A. 2023. Studi Komparatif Hasil Belajar Siswa yang Menggunakan Model TGT dan Pembelajaran Konvensional pada Materi Sejarah di SMA. Jurnal Pendidikan Sejarah, 12(1), 45-56.
Gagne, Robert M. 2013. The Conditions of Learning and Theory of Instruction. London: Routledge.
Hamalik, Oemar. 2012. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Hopkins, David. 2002. A Teacher's Guide to Classroom Research. Open University Press.
Huda, Miftahul. 2014. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Isjoni. 2011. Pembelajaran Kooperatif: Meningkatkan Kecerdasan dan Hasil Belajar Siswa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Johnson, David W., Roger T. Johnson, and Edythe Johnson Holubec. 2008. Cooperation in the Classroom. Edina, MN: Interaction Book Company.
Kaelan. 2012. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kemmis, Stephen, & Robin McTaggart. 1988. The Action Research Planner. Geelong, Victoria: Deakin University Press.
Kosasih. 2016. Kajian dan Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Lie, Anita. 2007. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.
Miles, Matthew B., & A. Michael Huberman. 1994. Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook. Sage Publications.
Mulyasa, E. 2013. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ormrod, Jeanne Ellis. 2012. Human Learning. Pearson Education.
Puspita, D. 2021. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT terhadap Peningkatan Pemahaman Konsep Matematika Siswa SMP. Jurnal Pendidikan Matematika, 10(2), 123-135.
Reigeluth, Charles M. 2010. Instructional-Design Theories and Models. Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Sari, E. S. 2020. Penerapan Model Pembelajaran TGT untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SD. Jurnal Pendidikan Dasar, 9(1), 89-100.
Sjamsul, B., dkk. 2017. Pendidikan Kewarganegaraan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Slavin, Robert E. 2015. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. Pearson Education.
Slameto. 2013. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana, Nana. 2014. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sukardi. 2014. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Suryosubroto. 2009. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Uno, Hamzah B. 2010. Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.
Udin, S. N., dkk. 2015. Ilmu Pengetahuan Sosial: Buku Siswa SMP/MTs Kelas VII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Wiriaatmadja, Rochiati. 2007. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wulandari, E. 2022. Peran Pembelajaran TGT dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial Siswa pada Mata Pelajaran PPKn. Jurnal Pendidikan PKn, 11(2), 78-90.
Komentar
Posting Komentar