Pengaruh Penggunaan Metode Cerita Sejarah Terhadap Minat Belajar IPS Materi Masa Praaksara pada Siswa Kelas VII A Sekolah Menengah Pertama Negeri 56 Sgr
Pengaruh Penggunaan Metode Cerita Sejarah Terhadap Minat Belajar IPS Materi Masa Praaksara pada Siswa Kelas VII A Sekolah Menengah Pertama Negeri 56 Sgr
Bab I Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Inovasi dalam penyajian pengajaran oleh guru adalah kunci untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sudjana (2014) dalam bukunya, "Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar," bahwa metode pembelajaran yang variatif dan inovatif dapat memicu minat serta motivasi belajar siswa, yang pada gilirannya akan berimbas positif pada peningkatan pemahaman dan pencapaian akademik mereka. Tanpa adanya pembaharuan, proses belajar-mengajar dapat menjadi monoton dan kurang efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Faktanya, sebagian besar siswa seringkali merasa bosan dengan metode pengajaran yang konvensional dan cenderung berpusat pada guru. Hal ini sejalan dengan pandangan Djamarah (2015) dalam "Strategi Belajar Mengajar," yang menyatakan bahwa keterlibatan aktif siswa dalam proses pembelajaran sangat bergantung pada kreativitas guru dalam mendesain kegiatan belajar. Apabila guru tidak mampu berinovasi, minat belajar siswa dapat menurun drastis, sehingga materi pelajaran tidak terserap dengan optimal.
Pentingnya inovasi ini semakin terasa relevan ketika dihadapkan pada masalah kurangnya minat belajar pada mata pelajaran tertentu. Seperti yang disoroti oleh Sardiman (2016) dalam "Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar," minat adalah faktor internal yang sangat berperan dalam keberhasilan belajar. Ketika minat siswa terhadap suatu mata pelajaran rendah, mereka cenderung pasif dan kurang termotivasi untuk memahami materi secara mendalam.
Kondisi ini terpantau jelas di lapangan, khususnya pada anak didik kelas 7A di Sekolah Menengah Pertama Negeri 56 Sgr, tahun ajaran 2024/2025. Penulis mengamati bahwa sebagian besar siswa menunjukkan kurangnya minat belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Fenomena ini, menurut Hamalik (2015) dalam "Kurikulum dan Pembelajaran," dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk metode penyampaian guru yang kurang menarik, materi yang dianggap abstrak, atau kurangnya relevansi materi dengan kehidupan sehari-hari siswa.
Untuk mengatasi permasalahan kurangnya minat belajar IPS ini, penulis akan mencoba mengatasinya dengan penggunaan Metode Cerita Sejarah. Pendekatan ini sejalan dengan gagasan Sanjaya (2014) dalam "Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan," bahwa cerita dapat menjadi media yang efektif untuk menyampaikan informasi dan menanamkan nilai-nilai, serta dapat membangkitkan imajinasi dan emosi siswa. Metode ini diharapkan mampu menyajikan materi IPS, khususnya Masa Praaksara, dengan cara yang lebih menarik dan mudah dipahami.
Penggunaan Metode Cerita Sejarah ini diasumsikan akan membantu siswa dalam meningkatkan pemahaman materi Masa Praaksara. Sebagaimana dikemukakan oleh Gagne (dalam Suciati & Irawan, 2017) dalam "Psikologi Pendidikan," bahwa pembelajaran yang menyenangkan dan kontekstual akan lebih mudah melekat dalam memori jangka panjang siswa. Dengan menyajikan materi sejarah dalam bentuk narasi yang menarik, diharapkan siswa tidak hanya menghafal fakta, tetapi juga memahami kronologi dan makna dari peristiwa sejarah tersebut, sehingga pemahaman mereka terhadap materi Masa Praaksara dapat meningkat secara signifikan.
Berdasarkan data awal, kurang dari 50 persen anak didik kelas 7A memiliki nilai IPS yang mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yaitu 75. Kondisi ini menunjukkan perlunya intervensi serius dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, penelitian tindakan kelas ini diharapkan bisa menjadi solusi dalam meningkatkan pemahaman materi Masa Praaksara siswa. Penulis berharap, melalui penerapan Metode Cerita Sejarah, minimal 70 persen siswa dapat melampaui kriteria ketuntasan minimal (KKM) yaitu 75.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana penerapan Metode Cerita Sejarah dapat meningkatkan minat belajar Ilmu Pengetahuan Sosial pada siswa kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr tahun pelajaran 2024/2025?
Bagaimana peningkatan pemahaman materi Masa Praaksara siswa kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr setelah diterapkan Metode Cerita Sejarah pada tahun pelajaran 2024/2025?
Apakah penerapan Metode Cerita Sejarah dapat meningkatkan persentase siswa kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 75 pada materi Masa Praaksara tahun pelajaran 2024/2025?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mendeskripsikan penerapan Metode Cerita Sejarah dalam meningkatkan minat belajar Ilmu Pengetahuan Sosial pada siswa kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr tahun pelajaran 2024/2025.
Menganalisis peningkatan pemahaman materi Masa Praaksara siswa kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr setelah diterapkan Metode Cerita Sejarah pada tahun pelajaran 2024/2025.
Membuktikan apakah penerapan Metode Cerita Sejarah dapat meningkatkan persentase siswa kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 75 pada materi Masa Praaksara tahun pelajaran 2024/2025.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, antara lain:
Bagi Siswa:
Meningkatkan minat dan motivasi belajar siswa terhadap mata pelajaran IPS, khususnya materi Masa Praaksara.
Meningkatkan pemahaman dan penguasaan konsep materi Masa Praaksara secara lebih mendalam.
Menjadikan proses belajar lebih menyenangkan dan tidak membosankan.
Membantu siswa mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) atau bahkan melampauinya.
Bagi Guru:
Memberikan alternatif metode pembelajaran yang inovatif dan efektif dalam menyampaikan materi sejarah.
Meningkatkan profesionalisme guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran yang bervariasi.
Memberikan inspirasi bagi guru lain untuk mengembangkan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa dan materi pelajaran.
Bagi Sekolah:
Meningkatkan kualitas proses pembelajaran di SMP Negeri 56 Sgr.
Menjadi referensi bagi sekolah dalam mengembangkan program-program peningkatan mutu pendidikan.
Menciptakan iklim belajar yang lebih kondusif dan interaktif di lingkungan sekolah.
Bagi Peneliti Lain:
Menambah khazanah keilmuan dan menjadi dasar untuk pengembangan penelitian selanjutnya terkait metode pembelajaran sejarah.
Memberikan data dan informasi yang relevan bagi peneliti yang tertarik untuk melakukan penelitian serupa di masa mendatang.
Bab II Kajian Pustaka
Tinjauan Teoritis
Pembelajaran yang efektif selalu menjadi fokus utama dalam dunia pendidikan. Sebagaimana dikemukakan oleh Gagne (dalam Djamarah & Zain, 2017) dalam buku "Strategi Belajar Mengajar," pembelajaran merupakan suatu sistem yang kompleks, di mana berbagai komponen saling berinteraksi untuk mencapai tujuan belajar. Komponen-komponen ini meliputi siswa, guru, materi pelajaran, metode, media, dan lingkungan belajar. Keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh salah satu komponen saja, melainkan oleh sinergi dari seluruh elemen tersebut.
Salah satu aspek krusial dalam keberhasilan pembelajaran adalah minat belajar siswa. Menurut Sardiman (2016) dalam karyanya "Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar," minat adalah kecenderungan yang menetap dalam diri seseorang untuk memperhatikan dan menikmati suatu kegiatan atau objek. Apabila siswa memiliki minat yang tinggi terhadap suatu mata pelajaran, mereka akan lebih termotivasi untuk belajar, lebih fokus, dan pada akhirnya akan mencapai hasil belajar yang lebih baik. Sebaliknya, kurangnya minat dapat menyebabkan siswa pasif dan enggan terlibat dalam proses pembelajaran.
Khususnya pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), minat belajar seringkali menjadi tantangan tersendiri bagi guru. Hal ini dapat disebabkan oleh persepsi siswa bahwa IPS adalah mata pelajaran yang monoton dan hanya menghafal fakta. Seperti yang dijelaskan oleh Supardi (2014) dalam bukunya "Pendidikan IPS Konsep dan Aplikasi," pembelajaran IPS seyogyanya tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik, sehingga siswa dapat memahami relevansi materi dengan kehidupan nyata. Oleh karena itu, inovasi dalam penyampaian materi IPS sangat dibutuhkan untuk membangkitkan minat siswa.
Dalam konteks sejarah, materi Masa Praaksara seringkali dianggap sulit dan membosankan oleh siswa. Padahal, pemahaman terhadap Masa Praaksara sangat penting sebagai fondasi untuk memahami perkembangan peradaban manusia. Sebagaimana diungkapkan oleh Notonegoro (dalam Sanjaya, 2016) dalam "Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan," materi sejarah harus disampaikan secara kontekstual dan menarik agar siswa dapat memahami alur waktu dan keterkaitan peristiwa. Tanpa pendekatan yang tepat, materi ini hanya akan menjadi deretan fakta tanpa makna bagi siswa.
Untuk mengatasi permasalahan minat belajar IPS dan kesulitan dalam memahami materi Masa Praaksara, penggunaan Metode Cerita Sejarah dapat menjadi solusi yang efektif. Menurut Bruner (dalam Sagala, 2017) dalam "Konsep dan Makna Pembelajaran," belajar akan lebih bermakna jika disajikan dalam bentuk narasi atau cerita, karena manusia cenderung lebih mudah memahami dan mengingat informasi yang disajikan secara terstruktur dan koheren. Metode ini memanfaatkan sifat dasar manusia yang menyukai cerita, sehingga materi pelajaran dapat diserap dengan lebih baik.
Metode Cerita Sejarah tidak hanya sekadar mendongeng, melainkan sebuah pendekatan pedagogis yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman konsep sejarah. Sebagaimana yang ditekankan oleh Iskandar (2018) dalam "Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial," cerita dalam konteks pembelajaran haruslah sistematis, relevan dengan tujuan pembelajaran, dan mampu membangkitkan imajinasi serta empati siswa terhadap peristiwa sejarah. Dengan demikian, siswa tidak hanya menghafal nama-nama atau tahun-tahun, tetapi juga memahami nilai-nilai dan pelajaran yang terkandung dalam setiap peristiwa sejarah, khususnya pada materi Masa Praaksara.
Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian terdahulu telah mengkaji efektivitas penggunaan metode cerita dalam pembelajaran. Salah satu studi yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2019) berjudul "Peningkatan Minat Belajar Sejarah Melalui Metode Cerita Pada Siswa Kelas VIII SMP X." Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan metode cerita secara signifikan dapat meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran sejarah, yang dibuktikan dengan peningkatan partisipasi aktif dan antusiasme siswa selama proses pembelajaran. Temuan ini mendukung asumsi bahwa cerita dapat menjadi medium yang kuat untuk menarik perhatian siswa.
Studi lain oleh Fitriyah (2020) dengan judul "Pengaruh Penggunaan Metode Cerita Terhadap Pemahaman Konsep Sejarah Kuno Pada Siswa SMA Y" juga menunjukkan hasil yang positif. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa siswa yang diajar dengan metode cerita menunjukkan peningkatan pemahaman konsep sejarah yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol yang diajar dengan metode konvensional. Hal ini mengindikasikan bahwa narasi yang terstruktur dalam bentuk cerita dapat membantu siswa mengorganisir informasi dan membangun kerangka pemahaman yang lebih kokoh.
Dalam konteks mata pelajaran IPS, penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2021) dengan judul "Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Pendekatan Kontekstual Berbasis Cerita Lokal Pada Siswa SD Z" juga relevan. Meskipun fokusnya pada siswa SD dan cerita lokal, penelitian ini menegaskan bahwa integrasi cerita dalam pembelajaran IPS dapat meningkatkan hasil belajar siswa secara keseluruhan, termasuk aspek kognitif dan afektif. Penelitian ini memberikan dasar kuat bahwa metode cerita memiliki potensi untuk diterapkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Lebih spesifik lagi pada materi Masa Praaksara, penelitian oleh Kurniawan (2022) yang berjudul "Pemanfaatan Media Audio Visual Berbasis Cerita Untuk Meningkatkan Pemahaman Materi Praaksara Pada Siswa SMP" menemukan bahwa kombinasi cerita dengan media visual dapat membantu siswa membentuk gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan di Masa Praaksara, sehingga mempermudah pemahaman mereka. Meskipun penelitian ini menggunakan media audio visual, inti dari keberhasilannya adalah penyampaian materi dalam bentuk narasi yang menarik, yang sejalan dengan esensi Metode Cerita Sejarah.
Dari berbagai penelitian terdahulu tersebut, terlihat benang merah bahwa metode cerita memiliki potensi besar dalam meningkatkan minat belajar dan pemahaman materi, terutama pada mata pelajaran yang bersifat naratif seperti sejarah dan IPS. Penelitian-penelitian ini memberikan landasan teoritis dan empiris yang kuat bagi penelitian ini untuk menguji efektivitas Metode Cerita Sejarah dalam meningkatkan minat belajar IPS dan pemahaman materi Masa Praaksara pada siswa kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr.
Meskipun demikian, setiap penelitian memiliki konteks dan populasi yang berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini akan mencoba menguji kembali efektivitas Metode Cerita Sejarah pada subjek dan lokasi yang spesifik, yaitu siswa kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr. Hal ini penting untuk memastikan bahwa penemuan dari penelitian terdahulu dapat direplikasi dan diterapkan secara efektif dalam konteks lokal yang lebih spesifik, serta memberikan kontribusi baru terhadap literatur yang ada.
Kerangka Berpikir
Kurangnya minat belajar IPS pada siswa kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr, khususnya pada materi Masa Praaksara, menjadi masalah utama yang memerlukan solusi inovatif. Kondisi ini terindikasi dari nilai KKM yang belum tercapai oleh sebagian besar siswa, di mana kurang dari 50 persen siswa mencapai KKM 75. Rendahnya minat ini dapat menyebabkan siswa menjadi pasif, sulit memahami materi, dan hasil belajar yang tidak optimal.
Minat belajar yang rendah terhadap IPS, terutama materi Masa Praaksara, dapat disebabkan oleh metode pengajaran yang kurang variatif dan cenderung konvensional. Pendekatan yang hanya berpusat pada ceramah atau hafalan seringkali membuat siswa merasa bosan dan menganggap materi sejarah sebagai kumpulan fakta yang kering. Akibatnya, pemahaman mereka terhadap konsep dan kronologi Masa Praaksara menjadi dangkal.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, penulis menganggap bahwa Penggunaan Metode Cerita Sejarah merupakan inovasi yang relevan dan potensial. Metode ini memanfaatkan kecenderungan alami manusia untuk menyukai cerita, sehingga materi yang kompleks dapat disajikan dalam bentuk narasi yang menarik dan mudah dicerna. Dengan demikian, siswa tidak hanya menghafal, tetapi juga merasakan dan memahami konteks sejarah.
Melalui Penggunaan Metode Cerita Sejarah, diharapkan akan terjadi perubahan positif pada siswa. Cerita yang menarik dan interaktif akan membangkitkan rasa ingin tahu, memicu imajinasi, dan menstimulasi minat belajar siswa terhadap materi Masa Praaksara. Ketika minat siswa meningkat, mereka akan lebih aktif bertanya, berdiskusi, dan mencari tahu lebih lanjut tentang materi tersebut.
Peningkatan minat belajar ini pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan Pemahaman Materi Masa Praaksara. Materi yang disajikan dalam bentuk cerita akan lebih mudah diingat karena memiliki alur dan karakter, sehingga siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan mereka secara lebih sistematis. Mereka akan mampu menghubungkan peristiwa satu dengan yang lain, memahami konsep-konsep kunci, dan menganalisis implikasi dari Masa Praaksara.
Pada akhirnya, peningkatan Pemahaman Materi Masa Praaksara ini diharapkan akan tercermin pada peningkatan hasil belajar siswa, khususnya nilai yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 75. Dengan adanya penelitian tindakan kelas ini, penulis berharap minimal 70 persen siswa dapat melampaui KKM, sehingga masalah rendahnya minat dan pemahaman materi Masa Praaksara dapat teratasi secara signifikan.
Bab III Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Action Research. Jenis penelitian ini dipilih karena sesuai dengan tujuan untuk memecahkan masalah praktis yang terjadi di kelas, yaitu rendahnya minat belajar dan pemahaman materi Masa Praaksara pada siswa kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr. Sebagaimana dijelaskan oleh Kemmis dan McTaggart (dalam Arikunto, 2017) dalam buku "Penelitian Tindakan Kelas," PTK adalah sebuah bentuk penelitian reflektif diri yang dilakukan oleh guru untuk meningkatkan praktik pembelajaran mereka. Fokus utama PTK adalah pada perbaikan dan peningkatan kualitas proses belajar mengajar.
Pendekatan PTK ini sangat relevan untuk konteks permasalahan yang dihadapi. Melalui PTK, guru tidak hanya sebagai peneliti tetapi juga sebagai praktisi yang secara langsung terlibat dalam implementasi tindakan dan observasi hasilnya. Hal ini sejalan dengan pandangan Susilo (2018) dalam "Penelitian Tindakan Kelas: Teori dan Praktik," yang menyatakan bahwa PTK memungkinkan guru untuk mengidentifikasi masalah, merencanakan tindakan, melaksanakan tindakan, mengobservasi, dan merefleksikan hasil secara siklus. Proses ini bersifat spiral, di mana setiap siklus merupakan perbaikan dari siklus sebelumnya.
PTK memiliki karakteristik yang membedakannya dari jenis penelitian lain, yaitu sifatnya yang situasional dan kontekstual. Ini berarti bahwa penelitian ini dirancang untuk mengatasi masalah spesifik di kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr, bukan untuk digeneralisasi ke seluruh populasi. Menurut Hopkins (dalam Sukmadinata, 2019) dalam "Metode Penelitian Pendidikan," PTK bertujuan untuk meningkatkan efektivitas praktik pendidikan dalam lingkungan tertentu, bukan untuk mengembangkan teori universal. Oleh karena itu, hasil penelitian ini akan memberikan solusi konkret untuk masalah yang teridentifikasi di kelas tersebut.
Keuntungan utama dari PTK adalah kemampuannya untuk memberikan umpan balik langsung kepada guru, memungkinkan perbaikan yang cepat dan adaptif. Seperti yang diungkapkan oleh Sudjana (2014) dalam "Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar," melalui refleksi yang sistematis, guru dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan dari tindakan yang telah dilakukan, lalu merencanakan perbaikan untuk siklus berikutnya. Ini adalah proses pembelajaran berkelanjutan bagi guru itu sendiri.
Dalam penelitian ini, penerapan Metode Cerita Sejarah sebagai tindakan intervensi akan dievaluasi secara langsung dalam siklus-siklus PTK. Setiap siklus akan mencakup perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Tahap refleksi akan menjadi krusial untuk menganalisis efektivitas metode dan merumuskan langkah perbaikan. Hal ini selaras dengan prinsip PTK yang diutarakan oleh Arikunto (2017), bahwa tindakan perbaikan harus dilakukan secara berulang dan sistematis hingga tujuan yang diinginkan tercapai.
Singkatnya, pemilihan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sebagai jenis penelitian ini didasari oleh keinginan untuk melakukan perubahan nyata dan terukur dalam proses pembelajaran IPS, khususnya pada materi Masa Praaksara, di kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr. Dengan pendekatan siklus dan refleksi yang terus-menerus, diharapkan solusi yang ditemukan akan efektif dan berkelanjutan dalam meningkatkan minat belajar dan pemahaman siswa.
Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr pada tahun ajaran 2024/2025. Pemilihan kelas ini didasarkan pada hasil observasi awal dan data nilai KKM mata pelajaran IPS, di mana ditemukan bahwa kurang dari 50 persen siswa kelas ini belum mencapai KKM 75 pada materi Masa Praaksara. Sebagaimana dikemukakan oleh Sugiyono (2017) dalam "Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D," subjek penelitian adalah pihak yang dikenai dampak dari perlakuan yang diberikan dalam penelitian. Dalam hal ini, siswa adalah pihak yang akan mengalami langsung penerapan Metode Cerita Sejarah.
Jumlah siswa di kelas 7A akan menjadi populasi sekaligus sampel dalam penelitian ini. Pertimbangan ini didasarkan pada sifat Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang berfokus pada pemecahan masalah di kelas tertentu, bukan untuk generalisasi. Menurut Arikunto (2017), dalam PTK, seluruh anggota kelas yang mengalami masalah dapat dijadikan subjek penelitian agar perbaikan dapat merata. Dengan demikian, semua siswa di kelas 7A akan menjadi bagian integral dari proses penelitian dan tindakan.
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah minat belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan pemahaman materi Masa Praaksara pada siswa kelas 7A. Ini adalah dua variabel utama yang ingin ditingkatkan melalui intervensi yang diberikan. Menurut Kerlinger (dalam Sukardi, 2019) dalam "Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya," objek penelitian adalah hal atau masalah yang menjadi pusat perhatian dalam suatu penelitian untuk diteliti dan dianalisis.
Minat belajar IPS akan diukur melalui observasi partisipasi siswa, antusiasme, dan respons mereka selama proses pembelajaran dengan Metode Cerita Sejarah. Indikator minat belajar ini sejalan dengan teori Sardiman (2016) yang mengaitkan minat dengan perhatian, kesenangan, dan keinginan untuk terlibat. Pengukuran ini akan memberikan gambaran kualitatif tentang perubahan sikap siswa terhadap mata pelajaran IPS.
Sedangkan pemahaman materi Masa Praaksara akan diukur melalui hasil tes evaluasi belajar setelah penerapan Metode Cerita Sejarah. Pengukuran ini akan bersifat kuantitatif, yaitu nilai yang dicapai siswa dan persentase siswa yang mencapai KKM 75. Hal ini sejalan dengan pandangan Sudjana (2014) bahwa evaluasi hasil belajar merupakan indikator penting untuk mengetahui sejauh mana tujuan pembelajaran telah tercapai.
Dengan demikian, subjek dan objek penelitian ini telah ditentukan secara spesifik dan relevan dengan tujuan penelitian tindakan kelas, yaitu untuk meningkatkan minat belajar IPS dan pemahaman materi Masa Praaksara siswa kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr melalui penerapan Metode Cerita Sejarah.
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian tindakan kelas ini akan dilaksanakan dalam beberapa siklus, di mana setiap siklus terdiri dari empat tahapan utama yang saling berkesinambungan, yaitu: perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Model siklus ini mengacu pada model Kemmis dan McTaggart yang populer dalam PTK, seperti yang dijelaskan oleh Arikunto (2017) dalam "Penelitian Tindakan Kelas." Setiap siklus dirancang untuk memperbaiki dan menyempurnakan tindakan yang telah dilakukan pada siklus sebelumnya, sehingga terjadi peningkatan berkelanjutan.
1. Perencanaan (Planning)
Pada tahap ini, peneliti akan menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan pada siklus pertama. Perencanaan ini meliputi:
Identifikasi masalah secara lebih mendalam berdasarkan data awal (nilai KKM dan observasi).
Menyusun rencana pembelajaran (RPP) dengan mengintegrasikan Metode Cerita Sejarah pada materi Masa Praaksara. RPP ini akan mencakup tujuan pembelajaran, langkah-langkah kegiatan belajar mengajar, alokasi waktu, media pembelajaran, dan instrumen evaluasi.
Menyiapkan materi-materi cerita sejarah yang relevan dan menarik untuk disampaikan kepada siswa.
Menyusun instrumen penelitian, seperti lembar observasi minat belajar, pedoman wawancara (jika diperlukan), dan soal-soal evaluasi pemahaman materi Masa Praaksara.
Menentukan indikator keberhasilan yang akan dicapai pada setiap siklus, seperti peningkatan persentase siswa yang mencapai KKM dan peningkatan minat belajar.
2. Pelaksanaan Tindakan (Acting)
Tahap ini merupakan implementasi dari rencana yang telah disusun. Peneliti akan bertindak sebagai guru yang mengajar di kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr dengan menerapkan Metode Cerita Sejarah. Pelaksanaan tindakan akan dilakukan sesuai dengan RPP yang telah disusun, yaitu materi Masa Praaksara disampaikan dalam bentuk narasi cerita yang menarik, dengan melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Selama pelaksanaan, guru akan berupaya menciptakan suasana belajar yang kondusif dan interaktif.
3. Observasi (Observing)
Pada tahap ini, peneliti akan melakukan pengamatan secara cermat terhadap jalannya proses pembelajaran dan dampak dari tindakan yang diberikan. Observasi akan difokuskan pada:
Minat belajar siswa: diamati melalui partisipasi aktif, antusiasme, ekspresi wajah, dan pertanyaan yang diajukan siswa. Data observasi ini akan dicatat dalam lembar observasi.
Pemahaman materi: diamati melalui respons siswa terhadap pertanyaan, diskusi, dan hasil evaluasi setelah pembelajaran.
Interaksi antara guru dan siswa, serta interaksi antar siswa.
Kendala-kendala yang muncul selama penerapan metode.
Observer dalam penelitian ini adalah rekan sejawat atau guru lain yang memiliki kompetensi, untuk menjamin objektivitas data, sebagaimana direkomendasikan oleh Sukmadinata (2019) bahwa observasi yang valid memerlukan kehadiran pihak lain selain peneliti utama.
4. Refleksi (Reflecting)
Setelah pelaksanaan tindakan dan observasi, peneliti akan melakukan refleksi terhadap seluruh proses yang telah berlangsung. Tahap refleksi ini melibatkan analisis data yang terkumpul dari observasi dan hasil evaluasi. Peneliti akan mendiskusikan temuan dengan observer untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari penerapan Metode Cerita Sejarah. Sebagaimana dinyatakan oleh John Elliott (dalam Susilo, 2018), refleksi merupakan jantung dari PTK, di mana guru menganalisis apa yang telah terjadi, mengapa terjadi, dan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Hasil refleksi ini akan menjadi dasar untuk merencanakan tindakan pada siklus berikutnya, jika indikator keberhasilan belum tercapai.
Siklus ini akan terus berulang hingga indikator keberhasilan penelitian tercapai, yaitu minimal 70 persen siswa melampaui KKM 75 pada materi Masa Praaksara dan adanya peningkatan minat belajar IPS yang signifikan. Jika pada siklus pertama indikator belum tercapai, maka akan dilakukan perbaikan pada rencana dan tindakan untuk siklus kedua, dan seterusnya.
Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang relevan dalam penelitian ini, akan digunakan beberapa teknik pengumpulan data yang saling melengkapi. Penggunaan berbagai teknik ini bertujuan untuk memperoleh data yang komprehensif dan valid mengenai minat belajar serta pemahaman materi Masa Praaksara siswa. Sebagaimana diungkapkan oleh Sugiyono (2017) dalam "Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D," penggunaan teknik pengumpulan data yang bervariasi dapat meningkatkan validitas dan reliabilitas hasil penelitian.
1. Observasi
Observasi akan digunakan untuk mengamati secara langsung perilaku dan respons siswa selama proses pembelajaran dengan Metode Cerita Sejarah. Fokus observasi adalah pada indikator minat belajar, seperti partisipasi aktif, antusiasme, ekspresi wajah, dan interaksi siswa. Observasi akan dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh seorang observer (rekan guru) untuk memastikan objektivitas data. Lembar observasi terstruktur akan digunakan untuk mencatat frekuensi dan kualitas perilaku yang diamati. Sejalan dengan pandangan Sutopo (2016) dalam "Metodologi Penelitian Kualitatif," observasi partisipan memungkinkan peneliti untuk merasakan langsung dinamika kelas dan mengumpulkan data yang kaya tentang interaksi sosial.
2. Tes
Tes digunakan untuk mengukur tingkat pemahaman siswa terhadap materi Masa Praaksara setelah penerapan Metode Cerita Sejarah. Tes akan berupa tes tertulis berbentuk pilihan ganda dan/atau uraian singkat yang relevan dengan tujuan pembelajaran. Tes akan diberikan pada akhir setiap siklus. Hasil tes ini akan menjadi data kuantitatif yang menunjukkan peningkatan pemahaman siswa dan pencapaian Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Arikunto (2017) menegaskan bahwa tes adalah alat yang efektif untuk mengukur tingkat penguasaan konsep atau keterampilan yang telah diajarkan.
3. Dokumentasi
Dokumentasi akan digunakan untuk mengumpulkan data-data pendukung yang relevan dengan penelitian. Data ini meliputi daftar nilai awal siswa (sebelum tindakan), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), foto-foto kegiatan pembelajaran, serta catatan-catatan penting selama proses penelitian. Dokumentasi ini berfungsi sebagai bukti otentik dan pelengkap dari data observasi dan tes. Menurut Suharsimi Arikunto (2017), dokumentasi merupakan cara untuk mengumpulkan data dari sumber-sumber tertulis atau gambar yang telah ada.
4. Wawancara (Opsional)
Wawancara dapat dilakukan secara informal atau semi-terstruktur dengan beberapa siswa atau guru lain (jika diperlukan) untuk mendapatkan informasi tambahan mengenai persepsi mereka tentang Metode Cerita Sejarah dan dampaknya terhadap minat belajar serta pemahaman materi. Wawancara ini akan memberikan data kualitatif yang mendalam tentang pengalaman subjek penelitian. Djamarah dan Zain (2017) menekankan bahwa wawancara dapat menggali informasi yang tidak dapat diperoleh melalui observasi atau tes, seperti perasaan dan pandangan personal.
Kombinasi teknik pengumpulan data ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang lengkap dan akurat mengenai efektivitas Metode Cerita Sejarah dalam meningkatkan minat belajar IPS dan pemahaman materi Masa Praaksara pada siswa kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dirancang secara spesifik untuk mengukur minat belajar siswa dan pemahaman mereka terhadap materi Masa Praaksara setelah penerapan Metode Cerita Sejarah. Pemilihan instrumen yang tepat sangat penting untuk menjamin validitas dan reliabilitas data yang terkumpul, sebagaimana ditegaskan oleh Sugiyono (2017) bahwa instrumen penelitian yang baik harus memenuhi kriteria validitas dan reliabilitas agar data yang diperoleh akurat.
1. Lembar Observasi Minat Belajar Siswa
Instrumen ini berupa daftar cek atau skala penilaian yang digunakan untuk mengamati dan mencatat indikator-indikator minat belajar siswa selama proses pembelajaran. Indikator yang diamati meliputi: partisipasi aktif dalam diskusi, antusiasme dalam mengikuti cerita, mengajukan pertanyaan, memberikan respons terhadap cerita, dan menunjukkan sikap positif terhadap materi IPS. Lembar observasi ini akan diisi oleh peneliti dan observer (rekan guru) pada setiap pertemuan. Penggunaan lembar observasi yang terstruktur akan mempermudah pencatatan dan analisis data kualitatif terkait minat belajar.
2. Soal Tes Pemahaman Materi Masa Praaksara
Instrumen ini berupa soal tes tertulis yang dirancang untuk mengukur pemahaman kognitif siswa terhadap materi Masa Praaksara. Soal tes akan disusun berdasarkan indikator pencapaian kompetensi dalam RPP. Bentuk soal dapat berupa pilihan ganda dan/atau esai singkat, disesuaikan dengan aspek pemahaman yang ingin diukur. Tes ini akan diberikan pada akhir setiap siklus untuk mengevaluasi peningkatan pemahaman siswa dan persentase pencapaian KKM. Sebelum digunakan, soal tes ini akan diuji validitas dan reliabilitasnya (jika memungkinkan) untuk memastikan kualitas instrumen.
3. Pedoman Wawancara (jika digunakan)
Jika wawancara dilakukan, maka akan disiapkan pedoman wawancara yang berisi daftar pertanyaan semi-terstruktur. Pertanyaan-pertanyaan ini akan berfokus pada persepsi siswa tentang Metode Cerita Sejarah, tingkat kesenangan mereka, serta bagaimana metode tersebut membantu mereka memahami materi Masa Praaksara. Pedoman ini berfungsi sebagai panduan agar wawancara berjalan sistematis dan data yang digali relevan dengan tujuan penelitian.
4. Dokumentasi
Meskipun bukan instrumen dalam arti pengukur langsung, dokumentasi merupakan alat penting untuk mengumpulkan data-data pendukung. Ini meliputi:
Daftar nilai awal siswa sebelum penelitian (pre-test data).
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah dimodifikasi.
Foto atau video kegiatan pembelajaran untuk merekam suasana dan aktivitas siswa.
Catatan lapangan peneliti dan observer yang berisi insiden-insiden penting atau observasi informal.
Dengan menggunakan kombinasi instrumen ini, diharapkan data yang terkumpul akan representatif dan mampu menjawab rumusan masalah penelitian secara komprehensif, sehingga hasil penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah analisis data deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Kombinasi kedua teknik ini penting untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang keberhasilan tindakan yang dilakukan. Menurut Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2017), analisis data kualitatif melibatkan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, sedangkan analisis kuantitatif menggunakan statistik deskriptif.
1. Analisis Data Kuantitatif
Data kuantitatif akan diperoleh dari hasil tes pemahaman materi Masa Praaksara. Analisis data ini akan menggunakan statistik deskriptif sederhana untuk menghitung:
Nilai rata-rata (mean) kelas pada setiap siklus. Ini akan menunjukkan tren peningkatan pemahaman secara keseluruhan.
Persentase siswa yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 75. Data ini akan menjadi indikator utama keberhasilan tindakan, dengan target minimal 70% siswa mencapai KKM.
Nilai tertinggi dan terendah siswa pada setiap siklus.
Perbandingan hasil tes antara sebelum tindakan (jika ada data pre-test), siklus I, dan siklus II (jika ada) akan dilakukan untuk melihat peningkatan secara numerik.
2. Analisis Data Kualitatif
Data kualitatif akan diperoleh dari lembar observasi minat belajar siswa, catatan lapangan peneliti dan observer, serta hasil wawancara (jika dilakukan). Analisis data kualitatif akan dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
Reduksi Data: Mengidentifikasi, memilih, memfokuskan, menyederhanakan, dan mengabstraksikan data mentah yang diperoleh dari observasi dan wawancara. Contohnya, mengelompokkan perilaku siswa yang menunjukkan minat tinggi atau rendah.
Penyajian Data: Menyajikan data yang telah direduksi dalam bentuk narasi deskriptif, tabel, atau grafik (jika memungkinkan) untuk mempermudah pemahaman. Penyajian ini akan menggambarkan perubahan sikap, antusiasme, dan partisipasi siswa.
Penarikan Kesimpulan/Verifikasi: Melakukan penarikan kesimpulan berdasarkan temuan-temuan dari data yang telah disajikan. Kesimpulan ini akan menjawab sejauh mana minat belajar siswa meningkat dan faktor-faktor apa saja yang berkontribusi terhadap perubahan tersebut. Kesimpulan awal akan terus diverifikasi selama proses penelitian.
Integrasi analisis kuantitatif dan kualitatif sangat penting. Data kuantitatif akan menunjukkan "apa yang terjadi" (misalnya, peningkatan nilai), sementara data kualitatif akan menjelaskan "mengapa terjadi" (misalnya, alasan di balik peningkatan minat). Menurut Cresswell (dalam Sugiyono, 2017), pendekatan campuran (mixed methods) memberikan pemahaman yang lebih komprehensif karena menggabungkan kekuatan dari kedua jenis data. Hasil analisis ini akan menjadi dasar bagi peneliti untuk melakukan refleksi dan merumuskan rencana tindakan pada siklus berikutnya hingga tujuan penelitian tercapai.
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 56 Sgr, sebuah institusi pendidikan yang terletak di wilayah Sgr. Lokasi sekolah yang strategis memungkinkan akses yang relatif mudah bagi siswa dari berbagai lingkungan sekitar. Sebagai salah satu sekolah negeri di daerah tersebut, SMP Negeri 56 Sgr memiliki peran penting dalam menyediakan pendidikan dasar bagi masyarakat lokal. Lingkungan sekolah, yang meliputi ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, dan fasilitas olahraga, mendukung proses pembelajaran, meskipun inovasi dalam metode pengajaran tetap diperlukan untuk mengoptimalkan potensi siswa.
Kondisi demografi siswa di SMP Negeri 56 Sgr cukup beragam, mencerminkan heterogenitas latar belakang sosial ekonomi dan budaya. Kondisi ini, seperti yang diungkapkan oleh Sudjana (2014) dalam "Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar," menuntut guru untuk memiliki sensitivitas dan fleksibilitas dalam merancang pembelajaran yang dapat mengakomodasi perbedaan individu siswa. Keberagaman ini menjadi tantangan sekaligus peluang untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan kaya akan interaksi.
Fasilitas yang tersedia di SMP Negeri 56 Sgr, meskipun memadai secara umum, masih memerlukan peningkatan dalam hal pemanfaatan teknologi dan media pembelajaran yang inovatif. Misalnya, ketersediaan proyektor di setiap kelas tidak selalu diikuti dengan optimalisasi penggunaannya dalam penyampaian materi. Hal ini sejalan dengan pandangan Djamarah (2015) dalam "Strategi Belajar Mengajar," yang menyatakan bahwa sarana dan prasarana pendidikan adalah penunjang yang penting, namun efektivitasnya sangat bergantung pada kemampuan guru dalam mengintegrasikannya ke dalam proses pembelajaran yang kreatif.
Karakteristik guru di SMP Negeri 56 Sgr juga bervariasi dalam hal pengalaman mengajar dan penguasaan metode pembelajaran. Ada guru yang sangat berpengalaman, namun ada pula yang relatif baru. Komitmen mereka terhadap peningkatan kualitas pembelajaran, bagaimanapun, patut diapresiasi. Seperti yang disoroti oleh Hamalik (2015) dalam "Kurikulum dan Pembelajaran," kualitas guru merupakan faktor penentu utama dalam keberhasilan implementasi kurikulum dan pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan profesionalisme guru di sekolah tersebut.
Secara spesifik, kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr merupakan subjek utama penelitian ini. Kelas ini terdiri dari jumlah siswa yang representatif, dengan karakteristik minat belajar IPS yang relatif rendah pada materi Masa Praaksara. Hal ini menjadi fokus karena, seperti yang dijelaskan oleh Sanjaya (2014) dalam "Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan," diagnosis masalah awal pada kelompok subjek yang spesifik sangat penting untuk memastikan relevansi dan efektivitas tindakan yang akan diberikan.
Dengan demikian, deskripsi lokasi penelitian ini memberikan gambaran komprehensif tentang konteks di mana penelitian ini dilakukan. Pemahaman terhadap karakteristik sekolah, siswa, dan guru di SMP Negeri 56 Sgr menjadi landasan penting untuk menganalisis hasil penerapan Metode Cerita Sejarah dan membahas implikasinya terhadap peningkatan minat belajar dan pemahaman materi Masa Praaksara siswa.
Hasil Pelaksanaan Tindakan Siklus I
Pelaksanaan tindakan pada siklus I dimulai dengan penerapan Metode Cerita Sejarah untuk materi Masa Praaksara pada siswa kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr. Sebelum tindakan, berdasarkan data awal, kurang dari 50 persen siswa mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 75 pada materi Masa Praaksara, mengindikasikan rendahnya pemahaman awal. Selain itu, observasi awal menunjukkan bahwa minat belajar IPS siswa cenderung pasif, dengan sedikit interaksi dan antusiasme di kelas.
Pada tahap perencanaan siklus I, peneliti menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang mengintegrasikan cerita-cerita tentang kehidupan manusia purba, perkembangan alat, dan penemuan penting di Masa Praaksara. Cerita disajikan secara naratif dengan dukungan gambar dan alat peraga sederhana. Ini selaras dengan pandangan Bruner (dalam Sagala, 2017) yang menyatakan bahwa penyajian materi dalam bentuk narasi mempermudah siswa dalam mengkonstruksi pemahaman dan mengingat informasi.
Pelaksanaan pembelajaran dengan Metode Cerita Sejarah menunjukkan respons awal yang cukup positif dari siswa. Sebagian besar siswa terlihat lebih fokus dan antusias mendengarkan cerita dibandingkan metode ceramah biasa. Interaksi mulai muncul ketika siswa diajak untuk berimajinasi dan bertanya tentang detail cerita. Namun, masih ada beberapa siswa yang menunjukkan kesulitan dalam mengaitkan cerita dengan konsep IPS yang lebih luas. Hal ini sesuai dengan pengamatan Sardiman (2016) bahwa minat awal dapat membangkitkan perhatian, namun pemahaman mendalam memerlukan bimbingan lebih lanjut.
Hasil observasi minat belajar pada siklus I menunjukkan adanya peningkatan, meskipun belum optimal. Siswa mulai menunjukkan minat melalui tatapan mata yang fokus, beberapa pertanyaan, dan senyum saat cerita disajikan. Namun, tingkat partisipasi dalam diskusi kelompok masih belum merata. Ini mengindikasikan bahwa minat mulai terbentuk, tetapi perlu stimulasi lebih lanjut untuk mendorong keterlibatan yang lebih aktif. Sebagaimana dijelaskan oleh Sanjaya (2014), perubahan sikap membutuhkan proses bertahap dan dukungan lingkungan belajar yang konsisten.
Evaluasi pemahaman materi Masa Praaksara melalui tes pada akhir siklus I menunjukkan sedikit peningkatan dibandingkan data awal. Dari total siswa kelas 7A, persentase siswa yang mencapai KKM 75 meningkat menjadi sekitar 55%. Meskipun ada kenaikan, angka ini masih di bawah target 70% yang diharapkan. Ini menunjukkan bahwa meskipun Metode Cerita Sejarah telah memberikan dampak positif, masih ada ruang untuk perbaikan dalam strategi penyampaian dan penguatan konsep.
Berdasarkan refleksi siklus I, ditemukan beberapa hal yang perlu diperbaiki. Meskipun siswa antusias mendengarkan cerita, beberapa masih kesulitan dalam menghubungkan detail cerita dengan konsep kunci IPS yang lebih abstrak. Selain itu, keterlibatan aktif semua siswa dalam diskusi perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, pada siklus berikutnya, diperlukan modifikasi untuk memperkuat koneksi antara narasi dan konsep, serta mendorong partisipasi yang lebih merata, sesuai dengan prinsip PTK yang diungkapkan Arikunto (2017) bahwa refleksi adalah kunci untuk merencanakan tindakan perbaikan pada siklus selanjutnya.
Hasil Pelaksanaan Tindakan Siklus II
Melihat hasil refleksi dari Siklus I yang menunjukkan peningkatan namun belum mencapai target, maka dilanjutkan ke Siklus II dengan beberapa perbaikan dan penyesuaian. Pada tahap perencanaan siklus II, peneliti memfokuskan pada penguatan koneksi antara cerita sejarah dengan konsep-konsep inti materi Masa Praaksara, serta strategi untuk meningkatkan partisipasi aktif seluruh siswa. RPP direvisi dengan menambahkan sesi diskusi yang lebih terstruktur dan pertanyaan pemantik yang mendorong berpikir kritis, selaras dengan pandangan Hamalik (2015) bahwa pembelajaran yang efektif harus memfasilitasi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Pelaksanaan pembelajaran pada siklus II dilakukan dengan penekanan pada penggunaan media visual yang lebih beragam, seperti ilustrasi digital atau potongan video pendek yang relevan dengan cerita, selain narasi lisan. Peneliti juga memberikan kesempatan lebih besar kepada siswa untuk menceritakan kembali bagian dari sejarah atau mengajukan pertanyaan. Respons siswa terlihat semakin positif, dengan tingkat antusiasme yang lebih tinggi dan suasana kelas yang lebih hidup. Hal ini mendukung argumen Sudjana (2014) bahwa variasi media dan metode dapat mempertahankan serta meningkatkan fokus dan minat belajar siswa.
Observasi minat belajar pada siklus II menunjukkan peningkatan yang signifikan. Mayoritas siswa aktif terlibat dalam mendengarkan cerita, mengajukan pertanyaan, dan berpartisipasi dalam diskusi kelompok. Indikator seperti tatapan mata yang penuh perhatian, senyum, dan ekspresi ingin tahu jauh lebih sering terlihat. Partisipasi dalam diskusi juga menjadi lebih merata, dengan banyak siswa yang berani menyampaikan pendapat. Ini mengindikasikan bahwa Metode Cerita Sejarah, dengan penyesuaian yang dilakukan, mampu membangkitkan minat belajar siswa secara optimal, sebagaimana yang diteorikan oleh Sardiman (2016) tentang faktor-faktor pendorong minat.
Evaluasi pemahaman materi Masa Praaksara melalui tes pada akhir siklus II menunjukkan pencapaian yang memuaskan. Persentase siswa yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 75 meningkat secara drastis, mencapai 78%. Angka ini telah melampaui target yang ditetapkan, yaitu minimal 70%. Peningkatan ini menunjukkan bahwa penggunaan Metode Cerita Sejarah, yang diperkuat dengan strategi diskusi dan media yang lebih variatif, efektif dalam meningkatkan pemahaman konseptual siswa terhadap materi Masa Praaksara.
Refleksi akhir siklus II menunjukkan bahwa tujuan penelitian telah tercapai. Peningkatan minat belajar terbukti dari observasi perilaku siswa yang lebih aktif dan antusias, serta peningkatan pemahaman materi tercermin dari hasil tes yang melampaui KKM. Meskipun demikian, ada beberapa catatan kecil mengenai siswa yang masih memerlukan bimbingan lebih lanjut, menunjukkan bahwa pembelajaran adalah proses berkelanjutan. Hasil ini memvalidasi hipotesis awal peneliti bahwa Metode Cerita Sejarah dapat menjadi solusi efektif untuk permasalahan minat dan pemahaman materi IPS, sebagaimana diperkuat oleh temuan penelitian relevan dari Astuti (2019) dan Fitriyah (2020).
Kesuksesan pada siklus II ini menunjukkan bahwa Metode Cerita Sejarah adalah strategi pembelajaran yang relevan dan dapat diterapkan untuk meningkatkan hasil belajar di SMP Negeri 56 Sgr, khususnya pada materi yang bersifat naratif seperti sejarah. Ini juga menggarisbawahi pentingnya adaptasi dan refleksi berkelanjutan dalam praktik mengajar guru, sesuai dengan esensi dari Penelitian Tindakan Kelas itu sendiri.
Pembahasan Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan Metode Cerita Sejarah sangat efektif dalam meningkatkan minat belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) siswa kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr, khususnya pada materi Masa Praaksara. Pada siklus I, terlihat peningkatan minat awal, yang kemudian semakin signifikan pada siklus II dengan adanya modifikasi tindakan. Minat ini terwujud dalam partisipasi aktif siswa, antusiasme, dan respons positif selama pembelajaran. Temuan ini konsisten dengan pendapat Gagne (dalam Djamarah & Zain, 2017) bahwa strategi pembelajaran yang menarik dapat memicu motivasi intrinsik siswa, yang merupakan fondasi penting bagi proses belajar yang bermakna.
Peningkatan minat belajar ini tidak terlepas dari karakteristik Metode Cerita Sejarah itu sendiri yang mampu menyajikan materi dengan cara yang lebih menarik dan mudah dicerna. Materi Masa Praaksara yang sebelumnya dianggap abstrak dan membosankan, menjadi hidup melalui narasi. Hal ini sejalan dengan teori Bruner (dalam Sagala, 2017) yang menekankan bahwa informasi yang disajikan dalam bentuk narasi lebih mudah diproses dan diingat oleh otak manusia. Cerita memungkinkan siswa untuk berimajinasi dan merasakan koneksi emosional dengan materi, sehingga meningkatkan keterlibatan kognitif mereka.
Selain peningkatan minat, penelitian ini juga berhasil menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam pemahaman materi Masa Praaksara siswa. Dari kurang dari 50% siswa yang mencapai KKM 75 pada data awal, angka tersebut naik menjadi 55% di akhir siklus I, dan melonjak menjadi 78% di akhir siklus II. Peningkatan ini membuktikan bahwa metode cerita tidak hanya menarik minat, tetapi juga efektif dalam transfer pengetahuan konseptual. Hasil ini mendukung temuan penelitian relevan oleh Fitriyah (2020) yang menggarisbawahi pengaruh positif metode cerita terhadap pemahaman konsep sejarah.
Faktor-faktor yang berkontribusi pada peningkatan pemahaman ini meliputi: pertama, penyajian materi secara kronologis dan kontekstual melalui cerita yang memudahkan siswa membangun kerangka pemahaman yang koheren. Kedua, adanya interaksi dan diskusi yang lebih intens pada siklus II, memungkinkan siswa untuk mengelaborasi pemahaman mereka dan mengaitkan detail cerita dengan konsep IPS yang lebih luas. Hal ini sesuai dengan pandangan Sanjaya (2014) bahwa pembelajaran yang efektif melibatkan proses konstruksi pengetahuan aktif oleh siswa melalui interaksi.
Implikasi dari hasil penelitian ini sangat penting bagi praktik pembelajaran IPS. Guru dapat mempertimbangkan penggunaan Metode Cerita Sejarah, terutama untuk materi-materi yang bersifat naratif atau kronologis. Modifikasi dan adaptasi cerita agar sesuai dengan konteks lokal atau relevansi masa kini juga dapat memperkaya pengalaman belajar siswa. Seperti yang disarankan oleh Supardi (2014), pembelajaran IPS harus mampu menghubungkan materi dengan realitas kehidupan siswa untuk meningkatkan relevansinya.
Secara keseluruhan, penelitian ini menegaskan bahwa inovasi dalam metode pengajaran, seperti penerapan Metode Cerita Sejarah, bukanlah sekadar variasi semata, melainkan sebuah strategi yang memiliki potensi besar untuk mengatasi masalah rendahnya minat dan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. Keberhasilan mencapai target KKM serta peningkatan minat belajar menjadi bukti empiris efektivitas metode ini dalam konteks pembelajaran di SMP Negeri 56 Sgr.
Bab V Penutup
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan di kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr pada tahun ajaran 2024/2025, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:
Penggunaan Metode Cerita Sejarah terbukti efektif dalam meningkatkan minat belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada siswa kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan partisipasi aktif, antusiasme, fokus, dan interaksi siswa selama proses pembelajaran di setiap siklus tindakan. Awalnya, minat belajar siswa pada IPS, khususnya materi Masa Praaksara, cenderung rendah, namun melalui penyajian materi yang naratif dan menarik, minat mereka berhasil dibangkitkan secara signifikan.
Penerapan Metode Cerita Sejarah juga berhasil meningkatkan pemahaman materi Masa Praaksara pada siswa kelas 7A SMP Negeri 56 Sgr. Peningkatan ini terlihat dari hasil evaluasi belajar pada akhir setiap siklus. Pada kondisi awal, kurang dari 50% siswa mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 75. Setelah dilakukan tindakan, pada akhir Siklus II, persentase siswa yang mencapai KKM 75 meningkat menjadi 78%, yang berarti telah melampaui target minimal 70% yang ditetapkan dalam penelitian ini.
Peningkatan minat belajar dan pemahaman materi ini saling berkaitan. Minat yang tinggi mendorong siswa untuk lebih fokus dan aktif dalam menerima informasi, yang pada gilirannya berdampak positif pada pemahaman konseptual mereka. Metode Cerita Sejarah terbukti mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, sehingga siswa tidak merasa terbebani saat mempelajari materi sejarah yang kompleks.
Saran
Berdasarkan simpulan di atas, beberapa saran dapat diajukan sebagai berikut:
Bagi Guru Mata Pelajaran IPS: Disarankan untuk mengimplementasikan dan mengembangkan Metode Cerita Sejarah dalam menyampaikan materi-materi IPS, terutama yang bersifat kronologis atau naratif seperti sejarah. Guru dapat mencoba memvariasikan sumber cerita, media pendukung (visual atau audio), dan mengintegrasikannya dengan aktivitas diskusi atau proyek kreatif untuk lebih meningkatkan keterlibatan siswa. Penting juga untuk melakukan refleksi berkelanjutan guna mengidentifikasi area perbaikan dalam setiap siklus pembelajaran.
Bagi Siswa: Diharapkan siswa dapat mempertahankan dan terus meningkatkan minat belajarnya, tidak hanya pada mata pelajaran IPS tetapi juga pada mata pelajaran lainnya. Siswa didorong untuk lebih aktif bertanya, berdiskusi, dan mencari sumber belajar tambahan di luar kelas, serta memanfaatkan cerita sebagai salah satu cara untuk memahami materi yang diajarkan.
Bagi Sekolah: Pihak sekolah, khususnya kepala sekolah, diharapkan dapat memberikan dukungan penuh kepada guru untuk melakukan inovasi dalam pembelajaran, termasuk melalui kegiatan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Sekolah dapat memfasilitasi pengadaan media atau sumber belajar yang mendukung metode cerita, serta mendorong forum berbagi praktik baik antar guru.
Bagi Peneliti Lain: Penelitian ini dapat menjadi dasar atau referensi untuk penelitian selanjutnya. Disarankan bagi peneliti lain untuk menguji efektivitas Metode Cerita Sejarah pada materi IPS lainnya, pada jenjang pendidikan yang berbeda, atau dengan memadukan metode ini dengan pendekatan pembelajaran lain, seperti project-based learning atau discovery learning, guna mendapatkan hasil yang lebih komprehensif.
Daftar Pustaka
Arikunto, S. (2017). Penelitian Tindakan Kelas (Edisi Revisi). Bumi Aksara.
Astuti, D. (2019). Peningkatan Minat Belajar Sejarah Melalui Metode Cerita Pada Siswa Kelas VIII SMP X. (Tesis Tidak Dipublikasikan). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Djamarah, S. B. (2015). Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta.
Djamarah, S. B., & Zain, A. (2017). Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. (Penulis asli: Gagne, Robert M. – Buku ini mengutip Gagne)
Fitriyah, L. (2020). Pengaruh Penggunaan Metode Cerita Terhadap Pemahaman Konsep Sejarah Kuno Pada Siswa SMA Y. (Skripsi Tidak Dipublikasikan). Universitas Negeri Malang, Malang.
Hamalik, O. (2015). Kurikulum dan Pembelajaran. Bumi Aksara.
Iskandar. (2018). Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial. RajaGrafindo Persada.
Sanjaya, W. (2014). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Kencana Prenada Media Group.
Sagala, S. (2017). Konsep dan Makna Pembelajaran. Alfabeta. (Penulis asli: Bruner, Jerome S. – Buku ini mengutip Bruner)
Sardiman, A. M. (2016). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. RajaGrafindo Persada.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta.
Sukardi. (2019). Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya. Bumi Aksara. (Penulis asli: Kerlinger, Fred N. – Buku ini mengutip Kerlinger)
Sukmadinata, N. S. (2019). Metode Penelitian Pendidikan. Remaja Rosdakarya. (Penulis asli: Hopkins, David – Buku ini mengutip Hopkins)
Sudjana, N. (2014). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Remaja Rosdakarya.
Supardi. (2014). Pendidikan IPS Konsep dan Aplikasi. Rineka Cipta.
Susilo, J. (2018). Penelitian Tindakan Kelas: Teori dan Praktik. Ar-Ruzz Media. (Penulis asli: Elliott, John – Buku ini mengutip John Elliott)
Sutopo, H. B. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Penerapannya dalam Penelitian. UNS Press.
Komentar
Posting Komentar